Siapa tidak ingin hidup sejahtera. Bekerja siang malam—kepala jadi kaki, kaki jadi kepala—menggambarkan kerja keras demi meraih hidup yang lebih sejahtera. Indikator kesejahteraan itu secara sederhana diajukan melalui pertanyaan: hari ini apa bisa makan, hari ini makan apa, hari ini makan siapa?
Manusia—makhluk omnivora menimbun makanan bukan di tembolok layaknya burung. Tragis dan ironis, timbunan makanan itu ditampung oleh plastik besar. Bermacam makanan dan masakan dijadikan satu dan kita menyebutnya makanan sisa. Sungguh, betapa sejahtera kehidupan kita sehingga makanan pun tersisa sedemikian banyak—setiap orang, setiap rombongan makan, setiap rumah makan dan restoran mengekspresikan perilaku sejahtera yang nyaris sama: membuang makanan.
Paradoks Kesejahteraan
Dengan gerakan tangan yang cukup ringan, seorang pelayan rumah makan memindahkan makanan di atas piring—yang mungkin cukup untuk dimakan tiga atau empat orang itu—ke dalam plastik besar, tembolok yang berisi sisa makanan. Tidak terbayang wajah 28 juta warga Indonesia yang hidup dalam kemiskinan (Data BPS 2015) dan 19, 4 juta jiwa merana dengan gizi buruk.
Ah, mereka itu kaum pemalas. Gayanya saja miskin, berumah di gubuk darurat, susah diatur dan keras kepala, hidup berdesakan di bantaran sungai—tapi hitunglah berapa uang yang mereka belikan rokok setiap hari!
Bukan dunia kalau tidak dihiasi oleh drama paradoksal. Friends of Earth (FOE) pada Januari 2016 merilis, dalam satu tahun produksi sampah makanan di dunia mencapai 1,3 miliar ton. Di tengah gelombang pengungsi yang terusir dari tanah kelahiran, di tengah pelecehan harkat kemanusiaan di kamp-kamp pengungsian—sisa makanan yang berton-ton itu menegaskan eksistensalisme kesejahteraan sekaligus mengabarkan arogansi sopo siro sopo ingsun.
Kok arogansi? Ya, arogansi itu dipanglimai oleh selera kuliner yang bermarkas di lidah. Adagium sopo siro sopo ingsun itu kalau diterjemahkan ke dalam terminologi lidah adalah selera lidahku pasti tidak sama dengan selera lidahmu. Bagiku lidahku, bagimu lidahmu. Tidak ada hujjah antara lidahku dan lidahmu.
Ketika empat orang berkumpul, memesan masakan dan minuman di rumah makan, maka sedikitnya ada empat selera lidah dengan ragam dan varian selera masing-masing yang nyaris tanpa batas. Lidah adalah cakrawala selera, dunia tanpa tepi, imajinasi tanpa bentuk, lukisan abstrak sarat subjektivisme.
Lidah tidak mengenal takaran, proporsi dan volume. Ideologinya cuma satu: memuaskan selera kuliner. Tidak heran, satu orang bisa memesan berjenis-jenis makanan tanpa rasionalitas dan pertimbangan apakah volume perutnya sanggup menampung semua makanan itu.
Setiap tahun sepertiga makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia di dunia berakhir menjadi sampah, atau jumlahnya 1,3 miliar ton. Ini termasuk 45% dari buah dan sayuran, 35% dari makanan laut, 30% dari sereal, 20% dari produk susu, dan 20% dari daging, demikian data dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB.
Data adalah data, fakta adalah fakta. Seni kuliner menantang pejuang penguak kenikmatan hidup untuk menyingkap setiap misteri dan rahasia, menyelami setiap detail dimensi rasa gurih, manis, asin, dan getaran aroma; mengekspresikan kenikmatan lidah dengan satu ungkapan: “Kelezatannya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Silahkan Anda mencoba dan merasakannya sendiri!”