Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Virus Hoax dan Agnotologi yang Terabaikan

Diperbarui: 19 Februari 2017   11:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: bbc.com

Kalau kita menelusuri arus informasi hingga ke belakang, ketika internet dan teknologi informasi belum sedahsyat sekarang, fenomena hoax sebenarnya bukan barang baru. Bahkan kita bisa mundur hingga ke abad berapapun dan mendapati berita bohong atau upaya pembodohan selalu menjadi tragedi yang mengisi sejarah peradaban manusia.

Nabi Adam dan Siti Hawa yang terusir dari surga, menurut tafsir yang sering kita terima, merupakan kecanggihan iblis men-talbis atau menyamarkan kenyataan yang sebenarnya, yakni pohon larangan yang lantas dikenal sampai sekarang sebagai pohon berbuah khuldi. Fenomena hoax—akibat proses pen-talbis-an yang sukses dijalankan, telah berlangsung sejak manusia pertama hidup di surga.

Tentu saja peristiwa Nabi Adam itu bukan rujukan sejarah untuk mendukung hoax dengan segala perangkat yang memproduksinya. Peran antagonis akan selalu hadir pada setiap perjalanan sejarah manusia, sebagaimana iblis memerankannya dan sukses menurunkan Nabi Adam dan Siti Hawa ke bumi.

Ketidaktahuan dan "Visi" Kepentingan

Sungguh menakjubkan ciptaan Tuhan bernama manusia ini—potensi untuk memerankan aktor antagonis dan protagonis telah terinstal secara utuh. Manusia—ya kita semua ini, pada saat tertentu memiliki peluang yang sangat terbuka untuk menjalankan peran antagonis sebagai penyebar hoax, dan satu detik kemudian memerankan aktor protagonis yang memiliki kejernihan dan keseimbangan berpikir.

Peran antagonis itu pernah dijalankan, misalnya oleh perusahaan tembakau the Brown & Williamson yang menulis taktik untuk menghadang kekuatan anti-rokok. Proposal yang berisi taktik penghadangan itu menjelaskan cara pemasaran yang mengaburkan fakta-fakta tentang imbas rokok terhadap kesehatan.

Adalah Robert Proctor, seorang sejarawan sains dari Universitas Stanford, yang berupaya menguak pembodohan itu. Proctor menemukan perusahaan tembakau sengaja menyebarkan kebingungan pada konsumen rokok. Fakta-fakta mengenai imbas rokok dikaburkan. Penyebaran ketidaktahuan itu dilakukan secara halus dan sistematis—merasuki saraf berpikir konsumen hingga kesimpulan terkait rokok sejalan dengan kepentingan visi bisnis perusahaan tembakau.

Hoax yang sengaja diluncurkan lalu menjadi viral itu mengasumsikan bahwa konsumen atau khalayak atau pengguna media sosial dikuasai oleh ketidaktahuan terhadap fakta yang sebenarnya. Bekerja seperti virus, tanpa disadari, tahu-tahu badan merasa nggreges terserang flu. Demikian pula virushoax bekerja—didukung oleh lemahnya pertahanan kita tentang fakta yang benar, tanpa disadari sikap berpikir sudah miring-miring alias tidak seimbang, hilang kejernihan dan objektivitas.

Saling memojokkan, saling mencaci, saling membenarkan pendapat sendiri, bahkan tak segan saling mengkafirkan (alangkah lucu dan naif: saling kok mengkafirkan) merupakan tragedi kemanusiaan yang membuat kita semua nggreges dirasuki virus hoax.

Algoritme Dunia dalam Gelembung

Pada taraf tragedi seperti itu hoax bukan lagi sekadar berita bohong. Virus hoax yang mengakar dan membentuk cabang-cabang akar baru mempengaruhi sistem sikap dan cara berpikir sehingga hoax bukan lagi hoax. Ketidakbenaran tidak lagi menjadi ketidakbenaran. Ketidakbenaran adalah kebenaran, dan kebenaran adalah ketidakbenaran. Nenek moyang kita menyatakan jaman wes wolak-walik—zaman ketika manusia menilai dan berpikir secara terbalik-balik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline