Nyambut gawe adalah bahasa Jawa yang diterjemahkan oleh bahasa Indonesia menjadi bekerja untuk mencari nafkah. Aku budal nyambut gawe artinya saya berangkat bekerja untuk mencari nafkah. Aktivitas dan tujuan boleh sama: bekerja dan mencari nafkah. Namun, ditilik dari dua frasa: nyambut dan gawe, Bahasa Jawa memiliki kearifan universal.
Nyambut artinya meminjam. Gawe artinya membuat, berkreasi menghasilkan sesuatu, produk atau jasa, yang bermanfaat untuk diri sendiri atau orang lain. Kesadaran hakiki dari bekerja menurut kearifan Jawa adalah kita meminjam tenaga, pikiran, ide, atau sejumlah software dan hardware dari Yang Maha Kuasa untuk menghasilkan produk atau jasa yang bermanfaat. Salah satu nilai manfaat yang dihasilkan adalah uang. Kendati demikian, uang bukan satu-satunya manifestasi perolehan rezeki.
Tak dipungkiri, tujuan orang nyambut gawe adalah memperoleh uang. Namun, kita sedang diikat oleh kesadaran bahwa software dan hardware untuk bekerja sejatinya adalah pinjaman. Atas kemurahan Yang Maha Pemurah kita dipinjami apa yang kita perlukan untuk melaksanakan gawe. Nyambut gawe menemukan maknanya di tengah kehidupan yang kita jalani.
Kesadaran tersebut menjadikan motivasi dan tujuan kita nyambut gawe bisa nengah-minggir alias lentur. Bisa juga meluas sekaligus mendalam. Bekerja tidak semata-mata untuk meraup pundi-pundi keuntungan berupa uang. Bertambah relasi, kenalan, sahabat, saudara merupakan rezeki yang patut disyukuri. Atau dengan nyambut gawe kita bisa menolong orang yang sedang kesulitan. Bukankah kesempatan dan kemauan untuk menolong itu sendiri adalah anugerah?
Kita menjadi tahu diri: sesuatu yang dipinjamkan itu punya batas. Kita bekerja dalam takaran secukupnya, sesuai kemampuan maksimal yang sanggup diupayakan. Bekerja keras namun sadar batas. Bekerja cerdas namun tidak culas. Bekerja giat namun tidak khianat.
Kearifan bekerja model budaya Jawa mungkin ditertawakan para workaholic. Langgam irama bekerja model Jawa terkesan santai, mendayu-dayu, tidak cekatan. Karakter langgam yang cukup berbeda dengan workaholic yang mengandalkan stamina harus selalu prima, dinamis, gerak cepat, fokus seratus persen pada target. Para pekerja di Cina mengenal “996”— untuk menggambarkan bekerja mulai jam 9 pagi sampai 9 malam selama 6 hari dalam seminggu. Menyaksikan etos bekerja yang overdosis itu, boleh juga ditambah menjadi “996-E”.
Budaya Jawa menggambarkan “996-E” atau gila kerja itu dengan ungkapan sirah dadi sikil, sikil dadi sirah. Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Gambaran yang tepat, karena orang yang bekerja melampaui batas “sunnatullah” sehingga kepala menjadi kaki dan kaki menjadi kepala, sesungguhnya sedang menjalani ketidakseimbangan. Terjadi disfungsi organ tubuh. Perangkat keras dan lunak yang dipinjamkan itu mengalami arus pendek.
Kalau arus pendek akibat kelebihan bekerja dialami oleh mayoritas pekerja, maka akan terjadi wabah kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Akibat paling fatal adalah nyawa tidak tertolong lagi. Cina harus menanggung sedikitnya 600 ribu warganya meninggal setiap tahun. Guolaosi, kematian akibat berlebihan dalam bekerja kini menjadi perhatian pejabat di Cina. Mereka mencemaskan kesehatan fisik dan mental para pekerja.
Memaknai bekerja tidak terutama berurusan dengan langgam atau irama, cepat atau lambat, sesuai jam kerja atau lembur. Bekerja adalah hidup itu sendiri, yang bergerak dinamis sesuai dengan kedaulatan makna pada diri setiap manusia. Kedaulatan itu bisa ditemukan secara otentik oleh hidup seseorang. Namun, sayang sekali, kita kerap terjebak dalam kepingan-kepingan gerak hidup—antara berkreasi(gawe)dan rekreasi dipahami secara saling menafikan satu dengan yang lain.
Kedaulatan yang otentik pada diri seseorang dalam bekerja, mengingatkan saya pada dialog antara Mirat Tua yang bertanya kepada Chairil Anwar, apa pekerjaannya?
“Atau bekerja…, barangkali?”