Kawan saya akhirnya memutuskan keluar dari sekolah tempat ia mengajar. Selama menjalani tugas mengajar, kawan saya rajin mengirim lamaran ke berbagai instansi. Ia diterima menjadi karyawan sebuah bank milik negara. Sekarang ia mengikuti pelatihan sebagai karyawan baru di bank tersebut.
“Daripada nganggur, Mas,” jawabnya ketika saya tanya mengapa ia melamar jadi guru lalu sekarang keluar. Jawaban yang realistis. Tidak salah memang bagi lulusan perguruan tinggi bersikap demikian. Apalagi menganggur adalah hal tabu bagi mereka yang baru lulus kuliah. Jenis pekerjaan yang diburu pun tidak sembarangan. Kalau bisa di instansi atau lembaga resmi, berpakaian seragam rapi, berangkat pagi pulang sore. Itu baru namanya bekerja.
Menjadi guru di sekolah merupakan pilihan profesi sementara. Tidak apa menjadi guru honorer atau guru tidak tetap yayasan dengan gaji kecil. Yang penting tidak lontang-lantung tanpa aktivitas yang jelas. Sambil mengajar di sekolah, tentu dengan kinerja seadanya, informasi berharga seperti pendaftaran menjadi pegawai negeri sipil (PNS), lowongan di instansi yang menjanjikan gaji lebih besar, atau peluang di lembaga lain yang lebih menjamin masa depan tetap harus diburu.
Belum ada survei atau penelitian yang memastikan aktivitas yang kerap dijuluki sebagai pahlawan tanpa tanda jasa itu sekadar pilihan profesi atau panggilan hati. Apa bedanya? Guru sebagai profesi, sebagaimana profesi yang lain, akan selalu dituntut untuk menguasai hardskill. Keterampilan teknis seputar mengajar merupakan tuntutan utama dan selalu menjadi kriteria utama untuk mengukur tingkat keprofesionalan seorang guru.
Kalau kita menengok pelatihan yang diikuti para guru, mulai pelatihan rutin Kelompok Kerja Guru (KKG), Kelompok Kerja Kepala Sekolah hingga yang melibatkan perguruan tinggi, keterampilan bersifat teknis mengajar (hard skill) selalu memperoleh porsi penekanan yang lebih banyak. Adapun soft skill guru biasanya disampaikan sambil lalu dengan porsi ala kadarnya saja.
Mindset, cara berpikir, sikap berpikir, pola berpikir atau sejumlah perangkat internal dalam diri seorang guru rasanya jarang disentuh apalagi dilejitkan. Problem utama penerapan Kurikulum 2013 pada dasarnya bukanlah terutama tentang menerapkan teknis kurikulum beserta perangkatnya.
Problem mendasar para guru adalah menata kembali mindset mendidik di tengah arus perkembangan zaman yang melaju kian cepat. Dan hal itu adalah urusan soft skill yang selama ini dilatih secara asal-asalan. Padahal kualitas soft skill guru akan menentukan ia datang ke sekolah sebagai pekerja yang menyampaikan informasi pengetahuan ataukah sebagai sosok yang mengikuti panggilan hati untuk menjalankan tugas kemanusiaan bidang pendidikan?
Generalisasi Profil Kesejahteraan Guru
Maka, masyarakat perlu bersikap adil dan objektif memandang (profesi) guru yang selama ini digambarkan sebagai sosok yang melas, perlu disantuni, bergaji rendah, kesejahteraan hidup di bawah status kelayakan. Pertanyaan untuk melukis profil kesejahteraan guru harus jelas, misalnya guru “sebelah mana” itu?
Kalau guru PNS dan bersertifikasi pendidikan mereka sudah hidup berkelayakan atau bahkan berkelimpahan. Kalau guru honorer sekolah swasta di perkotaan atau daerah terpencil, guru mengaji di Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) di kampung, mereka itulah para pejuang kemanusiaan yang mengabdikan dirinya di dunia pendidikan dengan gaji yang tidak masuk akal.
Generalisasi profil kesejahteraan guru seperti sosok Umar Bakri tidak berlaku lagi. Ada dua kutub: kutub sudah sejahtera dan kutub belum sejahtera. Sayangnya nasib para pejuang dan pengabdi pendidikan termasuk guru honorer yang berada di kutub belum sejahtera pada beberapa kasus dan kondisi masih memprihatinkan.