Ketika Korep dan Carmi memasuki padang sampah bau busuk belum begitu terasa. Sinar matahari masih terhambat pepohonan di sisi timur sehingga padang sampah belum terpampang. Nanti menjelang tengah hari padang sampah akan terjerang dan bau busuk akan menguap memenuhi udara. Sopir Dalim sering mengingatkan Carmi dan Korep, jangan suka berlama-lama berada di tengah padang. “Sudah banyak pemulung meninggal karena sakit, paru-parunya membusuk,” katanya. Entahlah, Sopir Dalim merasa perlu mengingatkan Carmi dan Korep. Dia sendiri tidak tahu mengapa hatinya dekat dengan kedua anak itu; barangkali karena Korep dan Carmi adalah dua pemulung paling bocah di padang sampah.
Penggalan cerpen Ahmad Tohari, Tawa Gadis Padang Sampah (Kompas, 21 Agustus 2016), menyisakan pedih. Cerpen berlatar padang sampah menceritakan betapa bahagia Carmi, gadis pemulung, akhirnya menemukan sepatu bekas sebelah kiri. Sepasang sepatu bekas yang kerap hadir di mimpi itu kini menghiasi kakinya. Sepatu bekas yang ditemukan di padang sampah bau busuk.
Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung begitu akrab dan terbiasa dengan bau busuk sampah. Bau busuk lama-lama tidak berbau busuk lagi—dihirup selama bertahun-tahun, dan tahu-tahu paru-paru pun membusuk. Mohon kita tidak berpikiran bau busuk dengan udara sangat tercemar itu dihirup anak-anak pemulung saja. Cerobong asap pabrik dan knalpot kendaraan bermotor yang padat berjejal-jejal di perkotaan menyemburkan asap “berbau busuk” juga.
Kadar polutan di udara menjadi tinggi. Ancaman kesehatan mengintai. Polusi udara tak hanya mengganggu pernapasan. Seperti dilansir KOMPAS.com, berdasarkan penelitian terbaru, polusi asap kendaraan bisa memengaruhi kecerdasan anak. Menurut para ilmuwan, polusi udara dapat menurunkan perkembangan kognitif anak. Paparan asap kendaraan pada anak akhirnya menghambat prestasi mereka di sekolah.
Penelitian tersebut dibuktikan dengan memantau 2.175 anak berusia 7-10 tahun pada 39 sekolah di Spanyol selama satu tahun. Peneliti mengamati memori dan tingkat perhatian anak-anak. Apa hasilnya? Tim peneliti dari Centre for Research in Environmental Epidemiology menemukan para murid di sekolah yang mendapat udara bersih mengalami peningkatan memori rata-rata 11,5 persen selama satu tahun. Sedangkan, para murid yang sering terpapar polusi udaranya meningkat 7,4 persen.
Kesimpulan menarik dan patut dicermati dari penelitian tersebut adalah sekolah yang mendapat paparan udara bersih jauh lebih maju di bidang pendidikan daripada mereka yang sekolah di lingkungan udara tercemar. Sekolah yang berada di pedesaan dengan jatah udara bersih yang melimpah—merujuk hasil penelitian dari Centre for Research in Environmental Epidemiology—semestinya tidak perlu minder. Sekolah-sekolah di desa memiliki keuntungan lingkungan yang “lebih sehat” daripada sekolah-sekolah di kota yang udaranya sesak oleh polutan.
Adalah Prof Netti Herawati, seorang pakar gizi yang mencemaskan ancaman kesehatan ketika udara tercemar oleh polutan. Asap kendaraan bermotor yang mengandung timbal sangat mudah terhirup oleh orang dewasa, juga anak-anak. Menurut Herawati bahaya timbal berpengaruh pada tingkat intelegensi anak-anak. Setiap 10 mg per desiliter timbal dalam darah akan terjadi penurunan IQ sebesar 2,7-5,7 poin.
Kecemasan Herawati cukup beralasan karena dalam penelitian terhadap kadar timbal yang melibatkan 200 anak-anak usia taman kanak-kanak di tiga kota besar, 90 persen kadar timbal dalam darah mereka di atas ambang aman. Lebih jauh Ketua Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Riau itu menyatakan, selain berpengaruh terhadap penurunan IQ, timbal dalam darah anak-anak mencegah penyerapan zat-zat baik yang dibutuhkan tubuh.
600 ribu kasus baru disabilitas intelektual mengintai masa depan anak-anak. Laporan yang dirilis oleh World Health Organization (WHO) menunjukkan tidak ada garis aman, sebab dalam dosis kecil sekalipun paparan timbal dapat mencederai otak secara serius; dan cedera itu kerap kali tak tersembuhkan.
Lebih jauh, paparan timbal tidak hanya mengancam penurunan IQ—anak-anak yang terpapar timbal berpeluang besar mengalami attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), mengidap perilaku kriminal dan antisosial. Paparan Bruce Lanphear, pakar paparan timbel dan pengajar di Fakultas Ilmu Kesehatan Simon Fraser University, Kanada tersebut menunjukkan polusi udara dalam ragam dan bentuknya benar-benar ancaman bagi kehidupan manusia.
Ironis memang, manusia pula yang menebar ancaman itu. Ironi yang tidak perlu ditanggung oleh generasi masa depan, yang pada akhirnya berbuah bencana. Bahkan dilaporkan ancaman limbah beracun lebih membunuh daripada malaria. Environmental Health Perspectives pada Mei lalu mencatat, malaria merampas 725 ribu tahun hidup sehat dari populasi gabungan—1,6 miliar manusia—yang meliputi tiga negara: India, Filpina, dan Indonesia. Sedangkan timbel, asbestos, hexavalent chromium, dan limbah beracun lainnya melahap 829 ribu tahun hidup sehat dari sekitar 8,6 juta orang di sekitar 373 pelimbahan beracun.