Lulusan SMK yang digadang-gadang akan terserap oleh kebutuhan pasar kerja, justru menyumbang angka pengangguran lebih besar dibandingkan lulusan SMA. Badan Pusat Statistik mengungkapkan tingkat pengangguran SMK menunjukkan tren peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Tren peningkatan dimulai pada 2012 yang tercatat 9,87 persen siswa SMK menganggur, pada 2013 naik menjadi 11,19 persen, dan terus meningkat per Agustus 2014 menjadi 11,24 persen.
Apabila dibandingkan dengan tingkat pengangguran SMA, pada 2012 tercatat 9,6 persen siswa lulusan SMA menganggur, pada 2013 naik menjadi 9,74 persen, dan 2014 turun menjadi 9,55 persen per Agustus 2014.
Presiden Jokowi pun dibuat gusar oleh kenyataan tren penggangguran lulusan SMK yang meningkat itu. Presiden meminta pendidikan vokasi ke arah demand driven ditingkatkan lagi. Kalau perlu perombakan dalam sistem pengajaran, materi pembelajaran, pengujian dan sertifikasi lulusan hendaknya disesuaikan dengan permintaan dunia usaha dan industri kerja.
Selain disebabkan oleh kelesuan ekonomi, belum adanya sinkronisasi antara kebutuhan pasar kerja dan keterampilan siswa SMK menjadi penyebab jumlah pengangguran meningkat. Pekerjaan rumah bagi kementerian terkait, yang perlu segera dirurai dan ditemukan solusinya. Jika tidak, harapan Presiden yang menyatakan, “60% dari penduduk Indonesia itu anak muda, ini kekuatan kalau kita bisa mengelola, kalau kita bisa memanfaatkan dari potensi kekuatan ini,”—justru berbalik menjadi mata pedang yang mengancam.
Akses masyarakat untuk menempuh pendidikan di SMK perlu dibuka lebih lebar. Selama ini jumlah pendidikan SMK hanya 33 persen, lebih kecil dibandingkan jumlah pendidikan SMA yang mencapai 67 persen. Karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan meningkatkan persentase sekolah SMK menjadi 60 persen pada 2020, demikian rencana yang disampaikan Direktur Pembinaan SMK Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Mustaghfirin Amin.
Antara Kenyataan, Bonus, dan Ancaman
Sejumlah harapan dan program pemerintah itu bisa dipahami. Indonesia sedang mempersiapkan diri menghadapi “kenyataan” demografi pada 2020 hingga 2030. Saya tidak langsung mengatakan sebagai “bonus” demografi, karena “kenyataan” demografi yang akan dihadapi itu bagai pedang bermata dua. Mudahnya, pada 2020 hingga 2030 Indonesia akan mendapat “berkah bonus” demografi apabila potensi generasi produktif itu dipersiapkan, dikelola, diperjelas visi-misi, dan disatukan ke dalam “kekuatan” bersama yang tersistem dan terpola secara apik.
Bila pemerintah sembrono dan serabutan, alih-alih memperoleh “bonus”—“kenyataan” demografi itu justru menghadirkan persoalan, problematika, keruwetan, bahkan bencana masa depan yang harus dibayar dengan ongkos yang sangat mahal.
“Bonus demografi ibarat pedang bemata dua. Satu sisi adalah berkah jika kita berhasil mengambil manfaatnya. Satu sisi lain adalah bencana apabila kualitas manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik," kata Presiden Joko Widodo saat memperingati Hari Keluarga Nasional, di Lapangan Sunburst, Kota Tangerang Selatan, Banten, pada Agustus tahun lalu, seperti diberitakan KOMPAS.com.
Mari kita berhitung mulai sekarang. Kenyataan demografi mencapai puncaknya pada tahun 2028 sampai 2030. Saat itu 100 orang produktif menanggung 44 orang non produktif. Dari data “Proyeksi Penduduk Indonesia” yang disusun Bappenas dan BPS, pada 2015 jumlah penduduk Indonesia tercatat 255,5 juta jiwa. Penduduk non produktif usia di bawah 15 tahun berjumlah sekitar 69,9 juta jiwa atau 27,4 persen dan penduduk berusia 65 tahun ke atas berjumlah sekitar 13,7 juta jiwa atau 5,4 persen. Total jumlah penduduk non produktif sebesar 32,8 persen. Artinya, 67,3 persen atau sekitar 171,9 juta jiwa adalah penduduk produktif, berusia 15-64 tahun.
Memasuki tahun 2020, diperkirakan jumlah penduduk produktif bisa mencapai 70 persen dan penduduk non produktif turun menjadi 30 persen. Kapan prosentase itu mencapai puncak ideal? Yakni antara tahun 2028 hingga 2030, setelah itu komposisi akan kembali bergerak ke angka prosentase yang menjauhi puncak ideal.