Malam itu, sayup-sayup kami mendengar suara lolong anjing Pak Kor. Betapa bahagianya anjing itu. Ah, kebahagiaan memang gampang menimbulkan cemburu.
Karena itulah, betapa kami kaget dan nyaris tak percaya, ketika mendengar kabar anjing Pak Kor mati bunuh diri. Baru kali ini kami mendengar ada anjing bunuh diri. Kalau pun itu benar terjadi, kami tak habis pikir, kenapa anjing itu mesti bunuh diri padahal hidupnya begitu bahagia?
Cuplikan Cerpen Agus Noor (Kompas, 07 Agustus 2016), Anjing Bahagia yang Mati Bunuh Diri, selain menyisakan tanya paling konyol juga memukul akal sehat. Dalam cerpen itu digambarkan, kurang enak apa hidup anjing Pak Kor. Biaya perawatan anjing, menurut Sebleh yang miskin, bisa buat biaya makan orang sepertinya berbulan-bulan. “Bayangin, kenapa dia mesti ngabisin banyak duit buat nyelamatin itu anjing? Kalau emang dia bener-bener dermawan yang berniat menolong, yang mestinya ditolong ya hidup kita ini, bukan anjing buduk itu!” kata Sebleh kepada istrinya.
Anjing itu gantung diri, mengakhiri hidupnya, mengakhiri puncak kenikmatan eksistensi, mengakhiri kenyataan hidup melimpah tak kurang satu apapun, yang menjadi khayalan dan idaman para anjing buluk di gang-gang kotor.
Ini bukan lagi soal bunuh diri anjing Pak Kor. David Hume, filsuf empirisme, berargumen, bunuh diri adalah pemberontakan terhadap garis nasib yang diberikan Tuhan. Tapi, bagaimana pun hitam kelam garis nasib seseorang, walaupun pada akhirnya setiap orang pasti mati, menurut Hume, kematian itu semestinya berproses secara alami, bukan diambil atas inisiatif individu itu sendiri.
Argumen David Hume—bunuh diri sebagai jalan pemberontakan terhadap nasib yang kelam—bisa jadi tidak selamanya benar. Rata-rata setiap tahun ada satu juta orang bunuh diri di dunia. Artinya setiap 40 detik ada satu orang meregang nyawa atas inisiatif sendiri, ungkap International Association for Suicide Prevention(IASP). Angka itu bisa terus meningkat. Bukan hanya mereka yang didera kemiskinan akut—para bankir, eksekutif dunia, dan sejumlah tokoh “sukses” lainnya tidak segan mengakhiri hidup di dunia dengan jalan bunuh diri.
Namun fakta mengejutkan pernah dirilis WHO. Negara miskin justru menyumbang angka paling rendah kasus bunuh diri, yakni sebesar 12%. Disusul negara berpendapatan tinggi 18,3%, negara berpendapatan menengah-atas 34,3%, negara berpendapatan menengah-bawah 35,4%.
The Economist melaporkan, selama kurun waktu 1994-2014 angka kematian bunuh diri di Amerika Serikat meningkat hingga 24% dari lintas usia, jenis kelamin, dan profesi.
Masih ingat kasus bunuh diri Lee In-won, Vice Chairmandi Lotte Group Korea Selatan? Pria berusia 69 tahun yang menjadi orang paling dipercaya selama empatpuluh tiga tahun di perusahaan multi bisnis itu mengakhiri hidupnya pada sebuah pohon di jalur pendakian di sebelah timur kota Yangpyeong. Lee menjadi tersangka kunci dalam dugaan mengemplang pajak senilai ratusan juta dolar AS.
Pada 2003 Chairman Hyundai Group, Chung Mong-hun melompat dari lantai 12 melalui jendela di kantornya. Aksi lompat yang berakhir maut itu dilakukan Chung setelah diinterogasi polisi atas tuduhan transfer rahasia dana sebesar US$ 500 juta kepada Korea Utara demi mengamankan kesepakatan bisnis.
Seorang mantan chief executive perusahaan asuransi Zurich Insurance, Martin Senn, mengakhiri hidup dengan menembak dirinya sendiri diduga karena depresi. Kematian Senn menambah panjang daftar eksekutif Zurich Insurance yang tewas karena bunuh diri. Tiga tahun lalu, kepala keuangan perusahaan penjamin asuransi terbesar Swiss memilih nasib serupa.