Tulisan ini bukan romantisme untuk melarikan diri dari kegelisahan nasib bangsa, bukan mitologi irasional untuk membesar-besarkan diri, bukan pula mimpi-mimpi kosong untuk hiburan di tengah himpitan persoalan yang menggerus naluri kemanusiaan. Cipratan dan kekayaan surga bernama Indonesia Raya adalah kenyataan alam dengan berbagai dimensi, keunikan, detail-detail variasi, lipatan-lipatan fakta—jasmani maupun rohani.
Kita simak sepenggal renungan tembang Lir Ilir dari Cak Nun berikut ini:
“Menggeliatlah dari tidurmu, tutur sunan, siumanlah dari pingsanmu, bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu. Sungguh negeri ini adalah penggalan surga.
Surga seolah pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya, cipratan keindahannya itu bernama Indonesia Raya.
Kau bisa tanam benih kesejahteraan apa saja diatas kesuburan tanahnya yang tak terkirakan, tak mungkin engkau temukan mahkluk Tuhanmu kelaparan ditengah hijau bumi kepulauan, bisa engkau bangun apa saja yang ingin dibangun, bahkan lebih dari yang bisa dicapai oleh negeri-negeri lain yang manapun.”
Tembang gubahan Sunan Kalijaga lima abad silam menggambarkan kenyataan historis sekaligus visi masa depan bangsa. Bangsa yang di atas tanah kehidupannya dihamparkan kesejahteraan tiada banding bahkan oleh kesuburan tanah Eropa yang dikumpulkan jadi satu. Karya adiluhung itu kini tinggal kenangan, sebatas kenangan, menjadi kenangan—klangenan budaya yang lirih disenandungkan.
Kekayaan itu menjadi bukan kekayaan lagi karena di kepala kita kekayaan adalah keuntungan materi, itu pun sebatas kekayaan yang bisa dilihat dan dirasakan pancaindera. Gemah ripah loh jinawi adalah dongeng negeri impian. Anak-anak kita sulit memahaminya, bahkan sekadar membayangkan sekalipun.
Identitas sejarah masa lalu terkurbur dan terpendam dalam-dalam. Kita lebih memilih menjadi orang lain, bangsa lain, peradaban lain, yang sama sekali bukan diri kita. Perjalanan kebangsaan kita terpenggal, terputus, tidak terkoneksi dengan sejarah DNA kebangsaan kita yang otentik. Bahkan untuk menengok kembali, melacak manuskrip atau sekadar memfoto sejarah Lampung era 1860-1940 kita harus membayar sebesar 6 Euro di perpustakaan Leiden.
Menurut data Perpustakaan Nasional, naskah kuno, kekayaan jati diri bangsa kita, banyak tersimpan di luar negeri. Tidak kurang 26.000 naskah kuno tersimpan rapi dan aman di perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
Mengutip nationalgeographic.co.id, sejumlah benda sejarah milik Indonesia tersebar di Belanda, Inggris, Austria, bahkan sampai ke Rusia. Di Inggris misalnya, ada sekitar 6.000 koleksi, sedangkan di Australia terdapat sekitar 3.000 benda etnografi Indonesia, ungkap Intan Mardiana, Direktur Museum Nasional.
Catatan perjalanan Aryanto dan S. Pujiono yang dikirim oleh Pusat Studi Strategi dan Kebijakan (PUSSbik) ke Leiden Belanda melaporkan, di perpustakaan Fakultas Hukum, khususnya di Van Vollenhoven Institute (VVI) dan Perpustakaan The Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studie, koleksi tentang Indonesia terawat dan tertata rapi yang bisa dilacak mulai tahun 1811.