Gencarnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengampanyekan Gerakan Hari Pertama Sekolah tak urung mengusik tanya di kepala. Ada apa dengan pendidikan kita? Ada apa dengan sekolah? Ada apa dengan guru dan kepala sekolah? Ada apa dengan siswa dan orangtua?
Bukan hanya itu. Masa Orientasi Siswa (MOS) diganti dengan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS). Infografis tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah yang diatur dalam Permendiknas Nomor 18 Tahun 2016 itu ditampilkan cukup menarik. Lagi-lagi, tanya mengusik benak. Mengapa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sampai tiba di titik kesimpulan, diperlukan kampanye yang cukup masif untuk mendukung gerakan ini?
Kawan saya mempunyai jawaban sederhana. "Pendidikan di sekolah dijalankan secara auto pilot," jawabnya.
“Auto pilot?” saya balik bertanya
“Auto pilot. Proses belajar di sekolah selama ini berjalan nyaris tanpa gerakan yang mencerminkan sedang terjadi proses pendidikan. Bersekolah, ya gurunya yang mengajar, ya siswanya yang belajar, berlangsung dalam ritme rutinitas yang konstan.”
“Selalu mengulang aktivitas yang sama tiap tahun, tiap semester, tanpa dinamika perubahan yang signifikan?”
“Begini lho mudahnya. Sekolah yang dijalankan secara auto pilot, terutama siapapun kepala sekolah, wakil kepala sekolah, wali kelas, atau gurunya tidak selalu memengaruhi proses pendidikan berjalan sesuai dinamika perubahan zaman atau tidak. Pancet. Kegiatan belajar ya itu-itu dan begitu-begituterus.”
“Mengapa bisa seperti itu?”
“Belajar bukan untuk menguak cakrawala potensi siswa. Proses belajar dilangsungkan menurut kebiasaan sebelumnya. Kebiasaan itu silahkan dicermati, diklasifikasi, dipetakan, ditemukan sebab-akibatnya – semuanya akan bermuara pada miskinnya inovasi dan kreativitas.”
Sekolah auto pilot, ada-ada saja istilahnya. Saya jadi teringat oleh kebiasaan memutasi guru atau kepala sekolah tidak lebih untuk kepentingan kedinasan. Menjadi kepala sekolah baru berjalan satu tahun setengah harus pindah ke sekolah lainnya. Menjadi guru belum genap satu tahun dipindah ke sekolah yang bahkan berbeda jenjangnya.
Di tengah kebiasaan memutasi guru dan kepala sekolah, sekolah tetap berjalan secara apa adanya. Sekolah yang dipetakan sebagai sekolah favorit akan tetap dinilai favorit oleh publik. Mengapa dinilai favorit? Siswa yang masuk di sekolah itu sejak awal memang berkemampuan tinggi, yang rata-rata nilai masuknya lebih bagus dari sekolah lain – bukan terutama berkat tangan dingin kepala sekolah.