Belum pukul enam pagi, mendung sudah menggantung di atas desa Kelutan Kab. Trenggalek. Semilir angin dingin pegunungan tidak mengurangi semangat warga desa menyambut riyoyo kupat. Setelah puasa nyawal selama enam hari, saatnya “Idul Fitri” episode kedua, siap dirayakan.
Perayaan riyoyo kupat di Kab. Trenggalek tergolong unik dan istimewa. Jalan desa dan gang-gang kampung dihias warna-warni. Malam hari lampu-lampu hias menggantung di depan setiap rumah. Layaknya menyambut hari kemerdekaan RI setiap desa berhias menampilkan kreativitasnya masing-masing.
Pagi hari sebelum pawai keliling desa digelar, warga desa menerbangkan balon udara yang dibuat secara sederhana. Tidak beberapa lama balon-balon udara melayang di angkasa kota Trenggalek. Balon udara mengangkasa, menandai selesainya puasa nyawal.
Menjelang pukul delapan pagi, jalanan mulai dipadati kendaraan. Mereka menuju jalan yang akan dilewati Pawai Gebyar Ketupat. Ada pula yang bertandang ke rumah sanak kerabat untuk berhari raya. Jalanan di desa menjadi ramai dan semarak. Rombongan pejalan kaki dari rumah ke rumah bersilaturahim, sambil tidak lupa menikmati suguhan khas yaitu lontong ketupat.
Ya, lontong ketupat, menu wajib yang selalu dijumpai hampir di setiap rumah. Selain menikmati sajian ketupat yang sedap dan lengkap dengan menu pendampingnya, seperti sambal goreng ati, sayur lodeh, lodo ayam khas Trenggalek – semua menu itu disajikan secara gratis. Tidak peduli kenal atau tidak, siapapun gratis menikmatinya, selama persediaan masih ada.
Saya merasakan nuansa keramahan luar biasa. Walaupun tidak berbayar, ibu-ibu meladeni pengunjung dengan santun dan ramah. Kita serasa bertamu ke rumah saudara sendiri. Hanya kapasitas perut kita menentukan sekuat apa melahap sayur dan lontong ketupat itu. Nambah lagi, lagi, dan lagi dengan berpindah-pindah tempat, tidak bakal ada yang menegur, kecuali peringatan daya tahan nafsu kita agar tidak makan minum secara berlebihan.
Pukul sembilan pagi jalan sepanjang Soekarno-Hatta dipadati penonton. Mereka menunggu rombongan pawai Gebyar Ketupat. Hampir seisi kota tumplek-blek di sana. Berlokasi di halaman rumah, kelompok jidor tradisional beranggotakan bapak-bapak yang sudah sepuh, turut menyajikan hiburan. Keramaian pawai berbaur dengan penampilan kesenian tradisioanal. Seolah mengingatkan kita, budaya dan tradisi bangsa jangan ditinggal begitu saja.
Hari raya ketupat merupakan perayaan sarat simbol. Diperkirakan sejak pemerintahan Demak awal abad ke-15, masyarakat Jawa sudah merayakannya.
Kupat (bahasa Jawa) merupakan singkatan dari ngaku lepat, mengaku bersalah. Sikap seorang kesatria yang berani mengakui kesalahan. Menemukan kesalahan orang lain alangkah mudah, menemukan kesalahan sendiri, lalu meminta maaf, alangkah susah. Egoisme kerap berlindung di balik kesalahan. Kita selalu benar, orang lain selalu salah. Kupat menjadi simbol saat egoisme runtuh lalu secara kesatria menyadari kesalahan.
Orang yang sadar dan menyadari dosa, kesalahan, keburukannya akan dianugerahi hati yang bercahaya. Disimbolkan dengan janur, bahan untuk menganyam ketupat. Janur merupakan singkatan dari jatining nur. Hati yang bercahaya. Kita mengenalnya sebagai hati nurani.
Hati nurani menjadi tempat segala cahaya kebaikan bersinar. Seburuk-buruk laku seorang manusia, selama ia mau mendengarkan suara hati nuraninya dan mengerjakan apa yang disarankannya, kelak ia akan menjadi manusia berbudi. Hati bercahaya menerangi laku dan jalan hidup kita. Godaan duniawi tantangannya.