Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Aku Mengenang, Karena Itu Aku Hidup

Diperbarui: 3 Juli 2016   23:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa Kecil | Sumber: mymodernmet.com

Mudik bukan cuma perjalanan pulang kampung. Bukan hanya berlelah-lelah sepanjang perjalanan. Bukan pula laporan tahunan kepada sanak saudara bahwa di kota kita sudah menjadi orang.

Lebih dari semua itu, perjalanan mudik adalah kebutuhan hidup manusia. Di kota kita memang berhasil menjadi orang. Namun, apakah kesuksesan itu menjadikan kita sebagai manusia? Perjalanan mudik akan menjawabnya.

Mudik Eksistensi

Seorang sahabat menanggapi tulisan Hari Pertama Sekolah, Saya Kembali Menjadi Manusia, dengan pertanyaan, “Selama ini kamu menjadi apa? Memang kamu bukan manusia?”

Persoalannya bukan pada bentuk fisik saya. Jelas, siapapun yang bertemu atau berpapasan dengan saya pasti mengatakan saya manusia. Namun kemanusiaan seseorang tidaklah terutama ditentukan oleh dimensi jasadi. Ukuran-ukuran non-jasadi yang tak kasat mata adalah parameter yang menentukan seseorang berkualitas atau bahkan layak disebut manusia atau bukan.

Apa hubungan semua itu dengan konteks kebutuhan mudik? Kita sepakat, mudik bisa menjebak kita pada aktivitas yang hanya berkutat untuk memenuhi nafsu keinginan. Gaya hidup eksesif yang dipanglimai semangat konsumerisme kerap melenakan makna hakiki mudik. Melaporkan kesuksesan hidup sebagai kaum urban, dengan simbol-simbol artifisial khas gaya hidup modern, ditampilkan secara dominan.

Padahal, di saat yang sama, kita sedang terjebak sikap konsumtif. Kita menampilkan gaya hidup yang berkelimpahan di mata orang lain, namun di mata batin sendiri kita merasa selalu berkekurangan. Kesadaran hidup yang belum layak dijalani oleh makhluk Tuhan yang disebut sebagai manusia.

Dan lihatlah, alangkah mudah orang dikerangkeng oleh labeling, ikon-ikon, branding, imaji-imaji, eksistensi semu. Mudik dengan kapasitas sebagai “orang” justru meneguhkan khayalan ekspresi simbolisme. Sukses menjadi ustadz akan menampilkan ikon simbolisme sebagai ustadz. Sukses menjadi pengusaha akan menunjukkan ikon simbolisme sebagai pengusaha. Sukses menjadi artis akan memamerkan ikon simbolisme sebagai artis.

“Sukses menjadi” adalah nafsu eksitensialisme yang didamba hampir semua orang. Dan untuk itulah kaum urban berbondong-bondong, berjejal-jejal, menyesaki pasar peredaran uang. “Sudah jadi orang ya?” adalah ungkapan budaya atas ketakjuban terhadap seseorang yang berhasil mencapai eksistensi dirinya.  

Berhasil meraih eksistensi memerlukan bukti, simbol, ikon, labeling. Mudik menjadi sarana ungkapan budaya bagi beratus-ratus absurditas itu. Mudik yang semula mengusung kesadaran nilai hakiki terkontaminasi nafsu eksistensi orang per orang.

Aku Mengenang, Aku Hidup

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline