Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Hidup Eksesif, Melimpah dalam Kekurangan

Diperbarui: 1 Juli 2016   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Eksesif | Sumber: http://bisnis.liputan6.com

"Nyuwun Pangestu, hari ini warga Bajulmati nekat kerja bakti menurunkan sisa-sisa atap bangunan TK HARAPAN Bajulmati Malang yang ambruk saat hujan deras mengguyur Bajulmati seharian pada tanggal 19 Juni 2016. Walau dengan modal Rp. 7,5 jt dari total rencana anggaran Rp. 20 jt, semuanya demi menyelamatkan anak-anak di Bajulmati agar tetap sekolah pada tahun ajaran baru nanti, 18 Juli 2016. Semoga Alloh segera menutup kekurangan dana tersebut lewat para dermawan yang budiman."

Tulisan di atas adalah kiriman sahabat saya, Mahbub Junaidi, di dinding Facebook saya. Cukup banyak teman dan sahabat yang bersimpati. Iringan doa: semoga lancar, amin, pasti bisa mengalir di bagian komentar.

Memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak dusun, di tengah keterbatasan dana, tidak ada semangat lain kecuali nekad. Bonek alias bondo nekad tidak selalu berkonotasi mengerjakan tindakan yang merugikan. Bonek warga Bajulmati merupakan pilihan sikap yang rasional daripada harus menunggu bantuan yang belum jelas kapan datang.

Maka, warga dusun Bajulmati gugur gunung menurunkan genting bangunan yang terletak di atas bukit itu.  Mereka bekerja dengan satu kepastian: tidak dapat upah alias gaji. Kenekadan yang menurut kita adalah kekonyolan sia-sia di tengah situasi penuh harapan yang dinanti-nanti setiap orang menjelang hari raya: THR.

Orang-orang yang hidup dusun terkadang bersikap naif dan irasional. Mereka bekerja tidak selalu untuk mencari upah. Bekerja merupakan perwujudan sikap khidmah, melayani, baik melayani sesama manusia atau melayani alam. 

Nelayan melayani laut. Petani melayani sawah. Tidak heran, mereka dengan suka rela bergotong royong menurunkan genting Taman Kanak-Kanak Harapan untuk melayani pendidikan anak-anak mereka sendiri.

Kegemaran melayani tumbuh seiring dengan kesanggupan memberi. Bukan orang dusun kalau tidak gemar memberi. Hal itu saya alami berkali-kali setiap hadir di tengah warga Bajulmati. Selalu saja ada yang mereka beri dan suguhkan. Kopi, ketan, pisang, ikan bakar hingga suguhan yang menenteramkan hati, keramahan yang ajer, blater, dan nyemanak.

Pertanyaan menggelayut di benak saya. Mengapa mereka tidak eman memberi? Apakah kegemaran memberi itu terdorong oleh sikap keberlimpahan? Jika ya, keberlimpahan seperti apa yang mereka rasakan, sedangkan untuk kekayaan materi mereka jauh tertinggal dari orang kota? Atau keberlimpahan tidak terkait dengan kepemilikan materi? Apa hubungan keberlimpahan dengan kebahagiaan?

Hidup yang Eksesif

Betapa malu diri saya saat bercermin di depan kedermawanan warga dusun. Malu yang nikmat, karena saya menemukan sisi kesadaran hidup yang telah hilang, bahkan entah sejak kapan. Cermin itu memantulkan fakta hidup yang saya jalani selama ini. Memantulkan nafsu kepemilikan terhadap benda-benda dan fasilitas teknologi masa kini. Memantulkan mentalitas saat berhadapan dengan ambisi dan keinginan-keinginan. Memantulkan kenyataan bahwa praktek industri kapitalisme menuntun sikap dan gaya hidup saya.

Saya merasa telah memiliki hampir semua hal yang saya inginkan dalam hidup, namun nafsu ingin memiliki dan menguasai, tidak pernah berhenti. Hidup di tengah keberlimpahan yang selalu kurang. Gaya hidup eksesif terus melaju. Dengan keberlimpahan itu saya tidak lantas menjadi lebih dermawan dari orang-orang dusun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline