Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Paguyuban Orangtua, Mewaspadai Pendidikan Berorientasi Pasar

Diperbarui: 29 Juni 2016   20:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paguyuban Orangtua | Sumber: www.prioritaspendidikan.org

Karena selalu terkait dengan nasib masa depan anak bangsa, visi pendidikan akan menjadi persoalan krusial yang tak habis dibincangkan. Persoalan visi pendidikan hadir menjadi tema diskusi bukan lantaran buruknya gambaran masa depan yang hendak dicapai. 

Kesenjangan antara fakta ke-kini-an dengan cita masa depan yang tergambar dalam visi pendidikan, apabila kita jujur dan obyektif, dipicu oleh getting lost. Terlalu banyak rombongan yang lelah lalu mengambil rute perjalanan sendiri.

Sementara itu, adakah perjalanan jauh melebihi lelahnya meraih visi sebuah pendidikan? Anis Baswedan mengibaratkan seperti mengendalikan arah kapal tanker. Mengubah arah atau visi pendidikan tidak semudah mengemudikan sampan. Tak heran pendidikan di negeri ini masih berkutat pada persoalan visi pendidikan dan cara meraihnya.

Berbagai upaya untuk mewujudkan visi pendidikan ditempuh oleh sekolah, salah satunya dengan membentuk paguyuban orangtua. Rendahnya keterlibatan dan partisipasi orangtua di sekolah menguatkan tekad kepala sekolah dan guru akan pentingnya paguyuban ini. Mayoritas orangtua murid, 74 persen, mengaku tidak mengetahui pola pelajaran atau kurikulum yang diterapkan sekolah. (print.kompas.com)

Bagai jamur di musim hujan, paguyuban orangtua di sekolah bermunculan. Misi yang diemban oleh hadirnya paguyuban orangtua menepis anggapan miring hubungan tidak harmonis antara sekolah dan keluarga. 

Lama terpisah oleh egoisme visi pendidikannya masing-masing, sekolah dan keluarga bertemu malu-malu dan agak canggung. Kegagapan komunikasi antar keduanya kerap mewarnai penyamaan persepsi bagaimana sekolah menyelenggarakan pendidikan yang manusiawi.

Beberapa kali saya diminta tolong untuk mencairkan hubungan itu. Ganjalan psikologis yang kerap terjadi adalah pihak sekolah telah berupaya memberikan layanan pendidikan semaksimal mungkin, sementara pihak orangtua menilai sekolah belum memberikan layanan sesuai standar mereka. 

Standar layanan bagaimana yang dimaksud oleh kedua belah pihak? Jawabnya bisa sangat panjang dan pelik. Saling adu kebenaran tidak menyelesaikan masalah.

Saya tidak akan mengurai detail standar layanan itu. Kita langsung menuju akar penyebabnya. Apa itu? Visi sekolah dengan visi orangtua (keluarga) belum seiring sejalan, sehingga tujuan akhir pendidikan bukan hanya terdapat kesenjangan, bahkan berbeda arah. Ibaratnya, sekolah berangkat ke Jakarta, orangtua berangkat ke Surabaya. Yang bingung siswa atau anak yang menjadi obyeknya.

Hemat saya, menyamakan visi pendidikan adalah pekerjaan pertama yang harus dituntaskan oleh sekolah dan paguyuban orangtua. Paguyuban bisa menjadi wadah untuk mem-break down visi, misi, dan tujuan pendidikan, sehingga getting lost tidak terjadi. Paguyuban orangtua biasanya dibentuk per jenjang kelas sehingga memudahkan pihak sekolah menciptakan clearity. Jelas apa yang hendak dicapai oleh aspek kogntif, afektif, dan psikomotorik.

Paguyuban juga menjadi wadah pendidikan bagi orangtua. Dengan kerja sama yang harmonis sekolah dan orangtua saling mengedukasi, saling berbagi ilmu dan pengalaman, saling mencerahkan, saling memberdayakan. Keuntungan lainnya adalah karakter positif yang telah diterima siswa di sekolah dilanjutkan dan dipelihara habituasinya oleh orangtua di rumah dengan pendekatan sikap mendidik yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline