Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

THR, Tabungan Hari Raya ala Anak-anak Ngaji

Diperbarui: 25 Juni 2016   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - menabung selama Ramadhan. (Shutterstock)

Anak-anak yang ngaji di Rumah Ngaji Al-Syahidy sepakat menabung setiap hari. Tidak banyak, hanya seribu rupiah setiap hari. Jumlah rupiah yang tidak seberapa dibanding jatah uang jajan yang kadang mencapai lima ribu sampai enam ribu rupiah sehari. 

Saya tidak bisa menghentikan tekad anak-anak untuk menabung yang rencananya akan dipakai untuk membeli seragam ngaji. Sejak bulan April lalu mereka mulai menabung seribu rupiah per hari. Apabila mereka rutin menabung selama enam hari, satu bulan terkumpul uang Rp. 24.000,- per anak. 

Katakanlah satu seragam rata-rata berharga Rp120.000,-, maka lima bulan yang akan datang uang itu baru dibelanjakan untuk membeli kain. Artinya, bulan September seragam ngaji mereka akan dijahit. Kira-kira di bulan Oktober mereka akan merasakan ngaji dengan memakai seragam baru.

Ternyata perkiraan saya meleset. Memasuki bulan Ramadhan awal Juni, mereka menabung tidak cukup seribu rupiah. Sebagian besar menabung lima ribu rupiah sehari. Saya juga tidak bisa menghentikan pelanggaran ini: dari kesepakatan awal seribu rupiah menjadi lima ribu rupiah per hari.

Gotong royong menghitung dan merancang seragam ngaji. Inisiatif bersama. Ditanggung bersama. Dirasakan manfaatnya bersama. | Dok. Pribadi

Fenomena ini menarik perhatian saya. Usut punya usut ternyata anak-anak menyisihkan penuh uang jajannya. Selama bulan Ramadhan uang jajan mereka utuh. Sekolah pun libur. Alhasil mereka menambah tabungannya menjadi lima ribu setiap hari. Puasa bulan Ramadhan telah mengurangi jumlah pengeluaran jajan mereka. Tentu saja pengeluaran khas anak-anak.

Berkurangnya pengeluaran selama bulan Ramadhan mengingatkan saya pada tulisan “Puasa, Return to the Origin” Tuty Yosenda. “Setiap puasa saya selalu mengenang Jean dan Garry, penganut ajaran Mormonisme, sebuah sekte Kristiani, yang saya kenal di tahun 2001. Pasangan dari Idaho-USA ini rajin puasa seminggu sekali. Selama puasa, sejumlah pengeluaran yang biasa digunakan untuk makan ini-itu mereka sumbangkan untuk kegiatan bakti sosial di seluruh dunia.”

“…Dengan penuh hormat Jean menggenggam tangan saya dan berkata: ‘Alangkah hebatnya kalian, umat muslim, melakukan puasa selama 30 hari. Pasti banyak sekali dana yang bisa dibagikan pada orang yang kurang beruntung’.”

Anak-anak ngaji di Rumah Ngaji Al-Syahidy tidak pernah membaca tulisan Puasa, Return to the Origin. Kenal Jean dan Garry pun tidak. Tetapi mereka bertemu dalam kesadaran yang nyaris sama bahwa selama puasa pos-pos pengeluaran bisa dihemat. Puasa dimaknai bukan sekedar tidak makan dan tidak minum di siang hari. Puasa adalah imsak, menahan diri dari nafsu yang selalu mengajak kita untuk berlebih-lebihan, juga dalam pengeluaran. 

Perkiraan saya bukan hanya meleset, bahkan berubah total. Anak-anak memang menghadirkan keajaiban. Belum tuntas saya merenung-renung tentang pos pengeluaran yang bisa dihemat selama bulan puasa, seorang anak menemui saya. Ia menyerahkan amplop tertutup.

“Untuk membeli kain, Pak,” katanya.

“Ini uang siapa?” saya bertanya ragu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline