Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Sekolah yang Adil dan Beradab

Diperbarui: 12 Juni 2016   22:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Anak-Anak Indonesia | Sumber: wartakota.tribunnews.com

Obrolan kami malam itu berakhir pukul 01.10 dini hari. Sebelum pamit pulang teman saya sempat-sempatnya menitipkan pekerjaan rumah. “Seberapa beradabkah sekolah yang ada di negeri ini?” Ia bertanya setelah menuntaskan kopi terakhirnya.

Saya hanya nyengir. Tidak ambil pusing. Tapi, pertanyaan itu terngiang terus sepanjang hari dan memenuhi pikiran saya. Sekolah dan peradaban. Sekolah dan adab. Sekolah dan proses pember-adab-an. Sekolah yang adil baru beradab ataukah beradab dulu baru adil? Adil kepada siapa? Adil dalam hal apa?

Bagaimana hubungan sekolah dengan cakrawala cita-cita: kemanusiaan yang adil dan beradab? Apakah manusia yang beradab menjadi visi sekolah yang menuntun misi dan tujuan proses pembelajaran di ruang-ruang kelas?

Atau kita batasi saja pertanyaannya supaya tidak melebar. Misalnya, fokus proses belajar di sekolah ditekankan pada kesiswaan atau kemanusiaan? Yang beradab itu siswa atau manusia? Kira-kira demikian pertanyaan sederhananya.

Wa ba’du. Atas semua pertanyaan itu saya berharap semoga kita menyadari kegelapan-kegelapan sikap atau cara berpikir sehingga peristiwa, misalnya penutupan paksa warung makanan yang buka siang hari di bulan Ramadhan tidak terjadi lagi. Bukankah kita mengharap para aparat dan pejabat adalah manusia yang adil dan beradab?

Para aparat dan pejabat pasti mengenyam proses belajar di sekolah. Apabila tindakan yang mereka lakukan masuk dalam kategori tidak adil dan tidak beradab, apakah institusi sekolah boleh lepas tangan ataukah turut bertanggung jawab secara moral?

Bukan dalam rangka menyudutkan sekolah melainkan mengajak sekolah bersama pihak yang mewarnai aktivitas belajar di dalamnya merenung kembali, menghitung diri, muhasabah, agar pola interaksi belajar lebih menekankan sisi kemanusiaan. Sekolah yang menghargai, ngajeni, memanusiakan manusia.

Lagi-lagi kita bisa memulainya dengan sebuah pertanyaan. Sejauh mana sekolah menumbuhkan sikap respek dan welas asih kepada siswanya? Apakah Bapak Ibu guru telah memberikan teladan? Apakah sikap respek dan saling welas asih menjadi ikatan dasar pergaulan diantara guru dan siswa, siswa dan karyawan, karyawan dan guru? Apakah pola pergaulan dalam lingkungan sekolah didasari nilai-nilai humanisme ataukah cenderung didominasi oleh hubungan struktural atas-bawah?

Sekolah adalah ladang untuk menanam benih karakter luhur: nilai-nilai keber-adab-an yang melandasi pola hubungan antara individu di sekolah. Dan individu itu adalah siswa, guru, staf tata usaha, satpam, petugas kebersihan, yang batin martabatnya sama, yakni manusia. Jabatan hanyalah alat untuk menjalankan tugas manajerial – selebihnya yang paling utuh, yang paling utama adalah apapun jabatan dan fungsi yang disandangnya jangan menggerus apalagi menggadaikan martabat kemanusiaan.

Hubungan yang terjalin selama proses belajar semestinya bukan hanya terbatas hubungan antara guru dan siswa. Hubungan profesionalisme guru-siswa kadang menutup sisi kemanusiaan yang lebih fundamental seperti toleransi, saling menghargai, kasih sayang, peduli. Harkat kemanusiaan yang semakin ditinggalkan dan tidak dijadikan ruh dalam menjalani proses belajar.

Akibatnya, sikap adil dan beradab menguap dalam panasnya kerja profesionalisme yang kering. Sekolah berubah menjadi pabrik untuk memproduksi cetakan-cetakan ilmu dan keterampilan. Guru mengajar, siswa belajar. Guru menyampaikan, siswa menerima. Guru menilai, siswa dinilai. Guru menghukum, siswa dihukum. Tidak terjadi dialektika yang adil. Bagaimana dikatakan adil: siswa selalu berada di kutub pasif (di)?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline