Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Menilik Perjuangan Pendidik yang Bukan PNS

Diperbarui: 6 Mei 2016   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Sang Pengabdi (Dok.pribadi)

Data Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) 2015 Kemendikbud menunjukkan hampir di setiap provinsi kekurangan guru PNS. Angka kebutuhan guru ideal (AKG) kebutuhan guru PNS mencapai 492.765 orang. Jawa Barat membutuhkan guru paling tinggi yaitu 99.176 orang. Jawa Tengah menyusul yaitu 54.431 orang dan berikutnya Jawa Tmur, 52.837 orang.

Data di atas menunjukkan peluang bagi mereka yang ingin berkarier sebagai guru. Menjadi guru PNS memang menggiurkan. Sampai hari ini guru PNS menjadi impian bukan hanya bagi lulusan keguruan dan pendidikan, bahkan sarjana lintas jurusan pun tak segan berbaris antri melamar.

Nampaknya, selain motivasi mendidik dan mencerdaskan anak bangsa, status sosial yang lumayan mentereng di masyarakat, dan fasilitas jaminan hidup masa depan tak perlu diragukan lagi. Dorongan motivasi manakah yang mendominasi para pemburu guru PNS, saya tidak tahu persis. Kenyataannya setiap pendaftaran guru PNS dibuka, para lulusan perguruan tinggi beramai-ramai mengadu nasib. Antri menjadi pahlawan tanpa tanda jasa.

Tetapi tidak dengan teman saya. Ia terkesan cuek. Tidak peduli dengan formasi-formasi tes guru PNS. “Kapan-kapan saya akan daftar,” demikian jawabnya, setiap kali ditawari tes guru PNS. Kapan-kapan itu entah sampai kapan. Sampai sekarang gelagat 'kapan-kapan' itu tidak berubah.

Lantas apakah ia menganggur? Sejak tahun 1992 teman saya mengungsi. Bukan karena frustasi. Ia melemparkan dirinya ke tengah dusun terpencil di Kabupaten Malang Selatan. Hidup bersama warga dusun. Ia menjalani kehidupan sosial masyarakat, yang menurut pendapat teman saya, masih primitif. Kebiasaan bertukar pasangan antar suami istri bukan perilaku yang tabu.

Suatu sore ia bertemu siswa yang baru tamat sekolah dasar di dusun itu. Anehnya, sang anak tamatan SD belum bisa membaca dan menulis. Naluri teman saya sebagai pendidik jebol. Keprihatinannya memuncak. “Hanya dengan pendidikan harkat hidup warga akan terangkat,” tekadnya.

Teman saya mulai bergerak dari rumah ke rumah. Njagong. Namun bukan sekedar njagong seperti kebiasaannya mengguyub-rukuni warga. Ia merayu terutama ibu-ibu yang sering mengajak anaknya berkebun. Anak-anak tidak masuk sekolah karena membantu ibunya meladang.

Awalnya ibu-ibu menolak keras. Memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk bertahan hidup lebih penting daripada sekolah. Teman saya tidak patah arang. Ia rela mendatangi ladang-ladang untuk mendongengkan cerita di sela-sela sang anak membantu ibunya.

Beberapa dongeng dijadikan cerita bersambung. Anak-anak pun ketagihan. Di waktu istirahat siang sang ibu kadang ikut menyimak dongeng kawan saya. Teman saya menyelipkan pesan-pesan pendidikan. Bahasa akademiknya, ia membangun visi masa depan pendidikan para orang tua di dusun itu.

Mendidik ternyata bukan urusan mengajar baca tulis. Dan teman saya sadar sepenuhnya akan hal itu. Di tengah membangun paradigma pendidikan ala dusun, ia bahkan berhadapan secara frontal dengan warga yang menolak keras rencanya mendirikan taman kanak-kanak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline