Masa Iddah Bagi Suami dan Istri
Masa Iddah adalah masa tunggu yang dijalani oleh seorang perempuan yang bercerai, suaminya telah meninggal dunia, maupun dari putusan Pengadilan untuk dapat menikah lagi dengan laki-laki lain. Ketentuan masa iddah ini berlaku untuk perempuan yang didasarkan pada fisik biologis dan rentang waktu yang telah ditentukan. Bagi laki-laki yang bercerai dengan isterinya, apakah diperlukan masa iddah sebagaimana seperti istrinya atau dibolehkan untuk langsung menikah dengan perempuan lain disaat istrinya menjalani masa iddah.
Keadaan ini bertolak belakang antara perempuan dan laki-laki pasca perceraian atau tatkala pasangannya meninggal dunia. Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia masa iddah sudah diatur dalam Ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang resmi berlaku dengan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Dalam kompilasi ini menyebutkan ketentuan tentang iddah diatur dalam pasal 153 yang berbunyi:
- Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku masa tunggu, kecuali qabla ad-dukhul (sebelum melakukan hubungan suami istri) dan perkawinannya putus bukan karena kematian.
- Masa tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
A. Apabila perkawinan putus disebabkan karena kematian, walaupun qabla ad-dukhul (sebelum melakukan hubungan suami istri), masa tunggu tetap ditetapkan selama 130 hari.
B. Apabila perkawinan putus disebabkan karena perceraian, masa tunggu bagi yang masih menstruasi ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak haid (menopause) ditetapkan 90 hari.
C. Apabila perkawinan putus disebabkan karena perceraian, sedangkan janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.
- Tidak ada masa tunggu bagi yang putus perkawinannya disebabkan karena perceraian, sedangkan antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla ad-dukhul (belum melakukan hubungan suami istri).
- Bagi perkawinan yang putus disebabkan karena perceraian, tenggang masa tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan perkawinan yang putus disebabkan karena kematian, tenggang masa tunggu dihitung sejak kematian suami.
- Masa tunggu bagi isteri yang pernah haid, sedangkan pada saat menjalani masa iddah tidak haid karena menyusui, maka masa iddahnya tetap dihitung tiga kali waktu suci sebagaimana mestinya.
- Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka masa iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci. (Sumber Himpungan Peraturan Perundang-undangan Di Lingkungan Peradilan Agama; 2014).
Ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal ini dan juga pasal-pasal lain hanya mengatur ketentuan-ketentuan iddah bagi wanita, sedangkan untuk pria pasca perceraian tidak ada masa iddah sama sekali. Masa iddah bagi laki laki menurut dalam konsep hukum Islam sebetulnya bukan disebut iddah, melainkan jeda waktu masa tunggu dalam suatu keadaan tertentu tidak boleh menikah sampai batas yang membolehkan seseorang untuk menikah lagi.
Misalnya seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari empat dan menceraikan istrinya satu atau lebih. Sebelum iddah istri-istri yang ditalaknya itu selesai ia tidak diperkenankan untuk melangsungkan pernikahan. Selain itu juga laki-laki yang dilarang menikahi karena hubungan mahram seperti saudara istri, bibi dan keponakannya dapat mereka nikahi setelah masa iddah istrinya habis.
Pada tahun 2021 keluar surat edaran dari Kementerian Agama Nomor: P-005/PD.III/Hk.07.0/10/2021 Tanggal 29 Oktober 2021 Tentang Pernikahan Dalam Masa Iddah Istri yang maksud dikeluarkannya surat edaran ini adalah sebagai petunjuk pelaksanaan pencatatan nikah bagi laki-laki bekas suami yang akan menikah dengan perempuan lain dalam masa idah istrinya dan tujuan dikeluarkan surat edaran ini untuk memberikan kepastian tata cara dan prosedur pencatatan pernikahan suami dalam masa iddah istrinya.
Walaupun maksud dan tujuan surat edaran tersebut demikian hanya tertuju untuk tata cara pencatatan nikah dalam edaran tersebut juga disebutkan:
- Pencatatan pernikahan bagi laki-laki dan perempuan yang berstatus duda atau janda cerai hidup hanya dapat dilakukan apabila yang 13 bersangkutan telah resmi bercerai yang dibuktikan dengan akta perceraian dari Pengadilan Agama yang telah dinyatakan inkrah.
- Ketentuan masa iddah istri akibat perceraian merupakan kesempatan kedua bagi pihak suami istri untuk berpikir ulang membangun kembali rumah tangga yang terpisah karena perceraian.
- Laki-laki mantan suami dapat melakukan pernikahan dengan perempuan lain apabila telah selesai masa iddah mantan istrinya.
- Apabila laki-laki mantan suami menikahi perempuan lain dalam masa iddah, sedangkan ia masih memiliki kesempatan merujuk bekas istrinya, maka hal tersebut berpotensi akan terjadinya poligami terselubung.
- Dalam hal lain ketika ia telah menikahi perempuan lain dalam masa iddah mantan istrinya, ia hanya dapat merujuk bekas istrinya setelah mendapat izin poligami dari Pengadilan.
- Perkara untuk merujuk istrinya dan kebolehan menikah bagi laki-laki dengan perempuan selain istrinya, sedangkan pada saat itu istrinya dalam masa iddah. Mengandung potensi terjadinya penyimpangan aturan hukum perkawinan yang ada. bagi yang istrinya berjumlah empat orang berpotensi menjadi lebih dari empat orang atau setidaknya akan terjadi poligami terselubung yang tidak dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam Undang-Undang perkawinan notabenenya di Indonesia menganut asas monogami dalam perkawinan yang terdapat dalam pasal 3 Undang-undang perkawinan ayat 1 yang menyebutkan: "Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami".
Manakala terjadi perceraian dan memasuki masa iddah untuk istrinya bisa terjadi penyeludupan hukum, bila suaminya menikah dengan perempuan lain dan setelah itu merujuk kembali istrinya, maka perkawinan yang pertama tidak terjadi perceraian. Sedangkan dia sudah terlanjut menikah dengan perempuan lain. Disini akan terjadi poligami yang sebetulnya tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang bahwa poligami harus mendapatkan izin dari Pengadilan dan syarat lain harus ada persetujuan istri yang dipoligaminya.
Selain itu kepentingan masa iddah mempunyai hikmah besar secara tersurat dan tersirat yang mungkin akan didapat untuk pasangan yang terlanjur bercerai padahal kondisi tersebut dalam hati nurani pasangan tersebut tidak mengingininya, tapi karena tidak mampu menahan hawa nafsu seperti marah yang berlebihan tidak dapat menguasai diri, sehingga menjatuhkan talak perceraian yang sebetulnya tidak diingini.
Banyak proses perceraian yang bergulir pada Pengadilan beberapa kasus gugatan perceraian berakhir di meja mediasi dan banyak juga rujuk di masa iddah menjadi pemersatu pasangan yang telah bercerai dengan berbagai alasan seperti untuk kepentingan anak, keluarga dan masa depan. Masa tunggu bagi laki-laki itu sangat diperlukan dan penting sekali, perlu diberikan regulasi yang jelas. Setidaknya masa iddah telah dilewati oleh istri yang diceraikan agar tidak terjadi hal yang berdampak buruk kepada banyak pihak.