bukankah hangat
membubuhkan hujan
dalam tidurnya abjad-abjad
di partitur keruh
sebuah keabadian
yang kusebut sebagai pekat?
aku dibawa olehmu
pada samudra yang gemerlap
akan malam-malam tidur
dan menjual badaniku pada
para trubadur rindu
di hutan-hutan takzim
lapis-lapis sajak berkabung
pada jam-jam bisu
tak seorang pun tahu
aku menunggu lunturnya waktu
jadi ampas di sudut pintu
sekedar mengulang-ngulang
pesan dari sebuah penggalan mata
di nafasku yang runtuh dan di sanalah
engkau tak kembali
hanya penanda sepanjang jalan pulang
membuatku tak ingat
kenapa engkau ada
sebagai kuntum
bukankah di sisa tidurmu
tak ada aku kau sebut sebagai aku
betapa hendak kulupa sabda
menganga diam-diam sebagai kemurungan
kita selalu ditandai dan lahir kembali
dicaci sebagai sesuatu yang kotor
melebihi kenistaan khuldi
kita memang sudah usang
sebagai sajak terbuang
surut dan tenggelam
namun hatiku tak jua padam
[Palembang, 21'03'10]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H