Lihat ke Halaman Asli

Achmad Humaidy

Blogger -- Challenger -- Entertainer

Kisah Inspiratif Buya Hamka dalam Film sebagai Bahan Konvergensi Ramadan

Diperbarui: 10 April 2023   00:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan pun hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja." (Buya Hamka)

 Dialog itu begitu terngiang dalam ingatanku saat sosok Abdul Malik Karim Amrullah atau yang akrab disapa Buya Hamka memandang hidup bukan hanya sekadar antara lahir dan meninggal saja. Kehidupan dipandang sebagai suatu hal yang harus dipenuhi hari ini, esok, dan sampai menghadap ke Sang Pencipta nanti. Lantas, apakah hanya cukup kita mewariskan harta saja saat sudah tidak ada di dunia? Justru ada warisan yang lebih berharga untuk generasi berikutnya yaitu pemikiran-pemikiran yang gigih dalam menegakkan agama Islam.

Penulis beruntung mendapat kesempatan hadir dalam Gala Premiere Film Buya Hamka yang diadakan hari ini di Epicentrum XXI. Saat menonton kisah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, tokoh Masyumi, dan ulama Muhammadiyah tadi banyak sekali kisah inspiratif yang bisa dijadikan bahan konvergensi saat Ramadan tahun ini. Sosok Buya Hamka dibingkai sangat tegas dalam hal menegakkan akidah tanpa kompromi dan membela Islam dari sisi-sisi yang lebih manusiawi.

Hamka (Vino Bastian) dikenal sebagai sosok penulis roman yang begitu masyhur di zamannya. Tahun 1938, novel-novelnya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah berhasil memikat hati para pembaca. Sudut pandang lain dari Hamka terlihat saat Ia memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang netral (bebas nilai). Sebab perkembangan ilmu pengetahuan (termasuk dari dunia Barat) terbilang sesuai dengan ajaran Islam. 

Beranjak dari situ, Ia berhasil merepresentasikan semangat modernisme Islam melalui organisasi kemasyarakatan yang diretasnya seperti Muhammadiyah dan Masyumi. Ada peran ayahnya, Abdul Karim Amrullah (Donny Damara) yang juga menjadi pembaharu agama di Minangkabau.

Narasi film religi yang divisualkan dalam format layar lebar ini juga menunjukkan bahwa agama Islam selalu siap berdialog dan terbuka terhadap penemuan-penemuan ilmu pengetahuan. Buya Hamka sempat singgah di Medan untuk aktif menulis karya tentang filsafat, tasawuf, dan mendulang sukses bersama media Pelita Harapan. Tapi, sekitar tahun 1944 saat masa penjajahan Jepang, Ia mulai dikucilkan masyarakat Indonesia karena dianggap pro pemerintah Jepang.

Tahun 1945 Indonesia merdeka, Buya Hamka sudah berada kembali pulang ke kampung halaman Padang Panjang. Selama menetap di sana, keseharian Hamka banyak mempelajari ilmu Alquran sesuai adat Minang. Ia juga fokus mengurus Persyarikatan Muhammadiyah tapi masih saja ada yang menjegal dan mengucilkan kiprahnya hanya karena urusan politis semata.

 Akankah Buya Hamka melanjutkan perjuangan atau menyerah sampai disini saja?

 

Karikatur Buya Hamka (dokumentasi Historia.id)

Sebelum menonton film ini, penulis sempat menengok kembali peran Buya Hamka saat Ramadan. Dari beberapa literatur yang penulis baca,  ternyata pertama kali ide peringatan Nuzulul Quran diusulkan oleh Buya Hamka. Ide itu muncul sebagai bentuk keselarasan semangat keagamaan dan semangat kebangsaan. Konon penetapan tanggal 17 Ramadan juga identik dengan tanggal 17 Agustus 1945 saat Indonesia dinyatakan merdeka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline