Ramadan tahun ini menjadi kedua kalinya, aku harus melewati tanpa kehadiran sosok imam dalam keluarga atau aku biasa memanggilnya 'papa'. Biasanya, kami begitu sering membuat target-target apa saja yang akan dicapai selama Ramadan.
Hal ini selalu dilakukan karena kami menjadikan momen Ramadan sebagai waktu untuk merekatkan antar anggota keluarga yang kadang terpisah kesibukan pada bulan-bulan lain. Tentu target-target Ramadan itu diniatkan juga untuk mencari rida Allah semata. Namun, semua tinggal cerita. Ada makna ramadan lain bagi diriku saat ini.
Sedikit kilas balik atau flashback. Salah satu momen Ramadan yang selalu aku ingat bersama papa yaitu salat tarawih berjamaah atau buka dan sahur bareng. Sebab kami tak mau melewatkan momen Ramadan dengan sibuk beraktivitas pakai gawai (gadget) saja.
Kami tak mau benda-benda mati itu justru melalaikan diri dari membangun keakraban sesama manusia, terutama buka obrolan dalam keluarga. Sudah dua tahun ini, momen-momen tersebut tak pernah terulang kembali.
Ramadan telah aku lewati 9 hari. Aku memaknai Ramadan tahun ini dengan tertatih membangkitkan semangat demi semangat dalam diri. Hanya bisa berharap, aku bisa bertahan hidup sampai pada bulan Syawal alias lebaran nanti.
Padahal rasanya baru kemarin aku melewati Ramadan dengan kesendirian. Tapi, atmosfer Ramadan tahun ini masih terasa hal yang sama. Makanya, aku memaknai Ramadan tahun ini dengan 3 M (Merelakan, Memaafkan, dan Merayakan)
- Merelakan
Satu kata tersebut terasa berat, tapi aku harus hadapi. Kehilangan seseorang yang berarti dalam hidup seperti papa memang bukan hal mudah. Terlebih, kehilangan tersebut terjadi saat masa pandemik lalu. Bisa jadi, aku termasuk orang-orang yang mengalami trauma pasca pandemik.
Di bulan Ramadan tahun ini, aku hanya bisa bersabar. Meski sulit, tapi aku yakin bisa menghadapinya. Tegar dan ikhlas harus dipupuk kembali menjalani hari-hari seperti sedia kala meski pasti ada yang beda. Aku terus berupaya beri waktu pada diriku untuk menerima kenyataan.
Di bulan Ramadan ini, aku harus MERELAKAN setiap manusia termasuk diriku sendiri yang bisa saja berpulang atau kembali kepada-Nya. Semoga hatiku bisa lebih lapang saat perbanyak doa untuk papaku yang sudah tenang di sana.
Memendam perasaan bersalah justru hanya membuat jiwa dan raga kita terasa sakit. Penyesalan itu pasti. Entah karena permintaan maaf yang belum sempat terucap atau rasa terima kasih yang belum pernah diungkap.