Lihat ke Halaman Asli

Achmad Humaidy

Blogger -- Challenger -- Entertainer

Perang Sarung, Kisah Masa Kecil untuk Bertarung

Diperbarui: 17 April 2021   00:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perang Sarung (arsip pribadi)

     Bocah laki-laki selalu ingin menjadi jagoan. Mereka selalu butuh pengakuan supaya dianggap paling hebat dibanding teman sepermainan. Kisah perang sarung yang pernah ada sejak masa cilik dulu, nyatanya masih menjadi kenakalan khas ramadan yang dilakukan para bocah sampai sekarang.

     Euforia ramadan yang hanya datang sekali dalam setahun penuh kenangan. Perang sarung biasa dilakukan setiap ramadan. Ada yang melakukan perang saat orang dewasa sedang melakukan salat tarawih dan ada juga yang mengajak perang setelah selesai salat tarawih. Jika perang di malam itu tak kunjung usai, biasanya perang sarung berlanjut setelah salat subuh. Saat itu, emosi makin memuncak dan perang sarung berubah menjadi perang petasan.

     Beberapa anak wanita yang tomboi juga tak mau ikut ketinggalan. Mereka bawa mukena dan mulai melancarkan aksi perang mukena. Awalnya hanya adu mulut, lama kelamaan tangan bertindak. Sumpah serampah dan nama-nama binatang kerap keluar dari bacot bocah yang belum mengerti arti pertemanan. Mereka lebih senang dengan nuansa permusuhan.

     Perang sarung yang awalnya hanya bentuk permainan, kini dilakukan untuk tawuran. Itulah yang membuatku miris. Terakhir, aku membaca portal berita Tribunnews yang mengabarkan bahwa para pelaku perang sarung ditangkap di daerah Karawang dan Tebet, Jakarta. Semua hanya dipicu karena saling ledek.

Rindu Perang Sarung

     Seingatku, perang sarung bermula saat sekelompok anak bertemu di dalam satu masjid. Awalnya, mereka main bersama. Tapi, emosi anak-anak yang tidak stabil menuntut peperangan digencarkan dengan membentuk kelompok masing-masing. Berhubung aku tinggal di komplek perumahan, tentu lawannya dari anak-anak kampung sebelah.

     "Anak, mana lo?!" Kalimat ini biasa membuka awal perang sarung. Kalau kedua kubu sudah saling mengenal, celotehan berlanjut dengan saling mengejek nama orangtua untuk memancing emosi lawan. Sampai kalimat pamungkas keluar "Lo kata, gua takut? Sini lo maju duluan!!"

     Sarung yang dipakai salat di masjid mulai dijadikan senjata. Ujung sarung diikat lebih tebal sehingga sarung membentuk gulungan. Ibarat bogem, sarung itu terasa keras saat dipukul ke bagian tubuh lawan. Siapa yang bisa menyerang bertubi-tubi sampai sarung lawan rusak, dialah jagoannya.

     Perang sarung ini cukup berbahaya kalau lawan menyerang bagian tubuh tertentu. Beberapa temanku kadang sengaja membawa dua sarung sehingga sarung yang satunya lagi sebagai kostum pelindung diri. Mereka tampil bak ninja sarung yang siap berperang.

     Perang sarung juga bisa mencelakakan diri. Ada yang jatuh saat dikejar, matanya merah terkena sabetan sarung, robeknya sarung, sandal yang putus, dan pecutan-pecutan yang memberi rasa nyeri pada tubuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline