Setiap tahun ada saja aparat yang melakukan razia terhadap warung makan yang buka pada siang hari. Kondisi demikian menimbulkan pro kontra yang meresahkan publik. Di satu sisi, ada upaya penegakan peraturan daerah untuk dijalankan dengan baik. Tapi di sisi lain, razia ini bagai bentuk diskriminasi bagi mereka yang ingin mencari sesuap nasi.
Polemik pun terus bergulir di masyarakat. Ada yang bilang boleh tetap buka asalkan tidak vulgar menggelar makanan yang disajikan. Ada juga yang mengatakan tidak boleh warung makan itu dibuka untuk menghormati mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa. Masing-masing pihak punya argumen. Perdebatan pun mengemuka hingga berujung pada isu SARA.
Coba tengok apa yang pernah viral di media sosial saat penutupan paksa warung makan di Serang, Banten pada tahun 2016 silam. Razia dipandang sebagai upaya penegakan Peraturan Daerah kota Serang Nomor 2 tahun 2010 tentang pencegahan, pemberantasan, dan penanggulangan penyakit masyarakat. Salah satu aturan dalam PerDa yaitu melarang warung makan yang buka pada siang hari selama bulan Ramadan.
Sebenarnya Perda Banten dibuat mungkin untuk menghormati orang yang sedang berpuasa agar dapat menjalankan puasa dengan sebaik-baiknya. Bahkan dalam perda, warung tetap diizinkan untuk berjualan pada saat menjelang berbuka puasa hingga sebelum subuh. Maka penutupan warung pada siang hari selama bulan Ramadan harusnya bukan sebuah masalah besar.
Publik pun mulai membandingkan peraturan ini dengan apa yang terjadi di Bali. Saat hari raya Nyepi, bandara di Bali harus ditutup. Kaum muslim yang menjadi minoritas pun secara otomatis menyesuaikan diri. Sama halnya, ketika teman-teman penulis yang non muslim selalu meminta izin kepada penulis untuk makan jika penulis sedang berpuasa. Intinya cuma satu, saling menghormati.
Dengan demikian warung makan tak perlu dipaksa untuk ditutup. Kita harus menghormati perbedaan yang ada. Ada hak bagi mereka yang tak berkewajiban puasa untuk tetap menikmati apa saja. Mereka itu seperti musafir, orang sakit, ibu hamil, atau wanita menyusui.
Jika ada pemilik warung memutuskan untuk tetap membuka barang dagangannya pada siang hari selama bulan Ramadan silakan saja. Apalagi jika mereka bertujuan untuk mencari rezeki halal guna memenuhi kebutuhan hidup. Asalkan pemilik warung tersebut hanya tetap melayani pembeli dari golongan orang-orang yang tidak diwajibkan berpuasa. Selain itu, warung juga bisa dibuka menggunakan tirai atau batasan penutup sebagai bentuk sederhana menghormati orang lain yang sedang menjalani ibadah puasa.
Ramadan itu sudah 1.439 tahun usianya. Perintah berpuasa pun diajarkan oleh masing-masing pemeluk agama. Lantas kenapa tradisi yang sudah lama harus dikritisi kembali?. Jika warung kecil disingkirkan, bagaimana restoran mewah yang ada di mal, toh semua sama mengais rezeki.
Mari kita gali lagi kehidupan berbangsa dan bernegara di bulan penuh kesucian ini. Bukankah dalam Pancasila juga telah diatur bahwa sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab. Kedua sila tersebut memberi pemahaman kepada kita untuk tetap hidup bersatu dalam keanekaragaman yang ada di Indonesia.
Ingat, sebagai muslim kita harus saling menghargai. Hakikat puasa itu tidak terbatas pada menahan haus dan lapar. Ada pengendalian terhadap hawa nafsu dan emosional yang wajib dikontrol. Masa iya, kita harus tergoda imannya hanya dengan melihat warung yang masih buka?. Anggap saja itu sebagai cobaan atau ujian keimanan kita, siapa yang sabar maka mereka itulah yang akan mendapat pahala.
Jika memang ada aparat yang ingin melakukan razia, silakan datangi tempat-tempat maksiat yang terdapat para pekerja seks komersial menjual dirinya atau tempat penjualan minuman keras yang nekat masih dibuka. Tempat itu baru layak untuk ditutup selama bulan Ramadan karena memang tidak berfaedah.