Lihat ke Halaman Asli

Achmad Humaidy

Blogger -- Challenger -- Entertainer

Diskriminasi dan Intimidasi Membuat Onggy Hianata Terbang Menembus Langit

Diperbarui: 27 April 2018   12:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film Terbang Menembus Langit.(KOMPAS.com/ Tri Susanto)

Bulan April 2018 mulai diramaikan dengan film-film Indonesia yang berkualitas. Setelah film Jelita Sejuba, ada film yang bertajuk Terbang Menembus Langit berhasil mencuri perhatian penulis. Film ini sudah penulis ikuti proses produksinya melalui timeline twitter rumah produksi Demi Istri Production.

Kehidupan Onggy Hianata sebagai warga negara Indonesia keturunan Tionghoa penuh kelok. Jatuh bangun sejak kecil hingga memiliki anak kecil terdeskripsi melalui rangkaian audio visual berlatar tempat di Tarakan, Surabaya, dan Jakarta. Tiga kota mengisahkan 3 fase kehidupan yang harus dilalui Onggy. Mulai dari masa kecil, remaja, hingga berumah tangga.

Dengan tone setting tahun 80-an sampai 1998, Film Terbang Menembus Langit menceritakan perjuangan pemuda serba kekurangan yang berani menunjukkan kelebihannya dengan gigih dan berhasil menjadi motivator sukses di Singapura. Panggil saja Ia dengan nama Onggy (Dion Wiyoko).

Sosok Onggy kecil membicarakan tentang masa depannya. Kehidupan serba kekurangan di Tarakan, Kalimantan Utara harus dijalani bersama 7 saudara kandung lainnya. Beruntung, Onggy punya orangtua yang begitu sayang kepadanya. Papa Ong Thui (Chew Kin Wah) selalu memberi motivasi kepada Onggy untuk terbang mengejar cita-citanya setinggi langit. Ibu (Aline Aditia) mampu mendukungnya untuk terus mendapatkan apa yang diinginkan. Keluarga  mereka pun tampak harmonis.

"Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung"

Salah satu adegan dalam Film Terbang Menembus Langit. Sumber: https://id.bookmyshow.com

Kehidupan Onggy pasang surut. Tantangan dan harapan datang silih berganti mengiringi perjuangan Onggy meraih mimpi. Setelah ayahnya tiada, Ia memutuskan untuk merantau ke Surabaya. Ia memberanikan diri mengejar mimpi di kota lain untuk kuliah. Demi membiayai kuliah, Ia mulai merintis ide bisnis dengan menjadi distributor buah Apel sampai menjual jagung bakar. Semua dibantu oleh teman-teman kost yang begitu menghibur dalam kesehariannya.

Onggy pun mulai jatuh cinta dengan Candra Dewi (Laura Basuki). Tak perlu berpacaran lama, mereka memutuskan untuk langsung menikah. Disinilah perjuangan hidup Onggy semakin diuji. Dimulai dari menjadi pengusaha kerupuk lalu ditipu, bekerja di pabrik benang lantas memutuskan untuk keluar, berjualan karpet di pasar tradisional sampai akhirnya bisa menjadi motivator kelas dunia seperti sekarang ini.

Kerja keras Onggy tak semudah membalikkan telapak tangan. Ia pun pernah mengalami tragedi kerusuhan 1998. Dibalik hidupnya yang masih susah tinggal di kontrakan. Ia ingin membeli AC untuk anaknya yang masih bayi agar tidak kepanasan. Saat pulang, Ia hampir mengalami penjarahan. Di saat orang-orang keturunan Tionghoa mengungsi dari Indonesia, Ia tidak pergi begitu saja. Ia beranggapan bahwa "Saya Indonesia. Saya sama dengan kalian!"

Masa orde baru menjadi titik balik perjuangan Onggy Hianata. Meski pertentangan antara kaum mayoritas dan kaum minoritas dengan paham berseberangan memanas. Ia tak mau ikut terbakar menjadi pemalas. Walau semua pihak saling menuding atas nama suku, agama, ras, dan antar golongan. Diskriminasi yang terjadi terhadap Onggy justru semakin mengintimidasi meraih kesuksesan yang hakiki.

'Sudahkah Kamu terbang menembus zona nyamanmu?... .'

Onggy Hianata dan Candra Dewi harus menghadapi masa sulit. Sumber: www.socimage.com

Etnis Tionghoa sengaja dipilih oleh Fajar Nugros untuk mematahkan stereotipe penonton terhadap kisah Onggy Hianata. Dari tangannya, Ia menerjemahkan pengalaman seorang motivator from zero to hero ke dalam bentuk audio visual. Sinematografi dan tone warna zaman old ikut menghanyutkan penonton dari satu adegan ke adegan berikutnya. Kesedihan dan kegembiraan bersatu pada motivasi hidup yang begitu tinggi.

Penyuntingan gambar pun rapi membawa penonton pada tiga fase kehidupan yang penuh angan-angan, banyak perhitungan, hingga mencapai mapan. Film berusaha menembus dekade waktu yang membuat kisah semakin berani dan tidak monoton untuk memberi tradisi dari sisi keluarga Tionghoa yang membumi. Hanya beberapa efek transisi mungkin terlihat kurang smooth.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline