Menjelang Hari Film Nasional 2017, kebangkitan perfilman Indonesia tumbuh subur. Sineas lokal mulai membuat film dengan variasi genre yang berbeda. Menurutku, jika cerita dalam film tersebut mampu menyentuh secara personal, film itu akan menjadi bagus. Karya yang baik selama ini ialah film tentang manusia, tentang apa yang dirasakannya, karakter, kepedulian, dan juga identifikasi seseorang pada kehidupannya.
Salah satu film Indonesia yang memiliki cerita menyentuh tersebut yaitu Film Salawaku yang diproduksi oleh Kamala Films. Tidak hanya alur cerita yang mengalir, tata artistik dan tata kamera pun menyajikan pesona kearifan lokal Indonesia yang begitu mendalam. Cerita mengikat dan memberi kesan yang kuat. Film ini juga cocok menjadi tontonan sekaligus tuntunan alternatif dalam memperingati Hari Perempuan Sedunia.
Adegan awal yang luar biasa dibuka dengan langit gelap menuju matahari terbit, tampak seorang perempuan dengan isak tangis tergesa-gesa berada di sampan kayu melakukan perjalanan seorang diri tanpa arah pasti. Lautan luas nan biru menjadi saksi perjuangannya seorang diri mengarungi bahtera kehidupan yang harus dilalui.
Salawaku (diperankan oleh Elko Kastanya) seorang pelajar sekolah dasar mulai merasa sepi dan sendiri. Sejak orangtuanya meninggal, Ia hanya memiliki kakak perempuan bernama Binaiya (diperankan oleh Raihaanun) yang tiba-tiba kabur dari pemukiman mereka. Salawaku pun melakukan perjalanan mencari kakak kesayangannya dengan menggunakan sampan milik pemuka adat.
Tiba-tiba di tengah perjalanan, Ia bertemu Saras, (diperankan oleh Karina Salim). Saras sedang tersesat di salah satu pulau. Perjumpaan mereka yang tampak disengaja dan klise agak sedikit mengganggu. Namun, perjalanan mereka yang menjadi petualangan mencari kebahagiaan menjadi semakin seru.
Perbedaan bahasa yang digunakan antara bahasa daerah dan bahasa gaul menjadi daya tarik dialog selama perjalanan mereka dalam film ini. Penggunaan bahasa daerah ‘seng’ yang berarti tidak atau penggunaan istilah gaul ‘gokil’ dan ‘gagal paham’ membuat cerita ini tidak begitu kaku. Tidak hanya disuguhi panorama kekayaan alam Indonesia bagian timur, penonton dibawa lebih dekat mengenal karakter orang Maluku beretnis Ambon yang sering dijuluki Labu Jua Ada Hati, maksudnya “Sekeras-kerasnya watak orang Ambon, hati tetap lembut… .”
Perjalanan Salawaku dan Saras pun berlanjut menuju Piru, ibukota Seram Barat tempat Binaiya bekerja. Perjalanan ini dilengkapi bersama pacar dari Binaiya, bernama Kawanua (diperankan oleh Jflow Matulessy). Awalnya, Kawanua hanya khawatir terhadap Salawaku yang sudah dianggap adiknya sendiri. Setelah bertemu dengan Salawaku di tengah perjalanan, Ia pun berjanji akan mengantarkan Salawaku hingga akhir tujuan.
Di suatu persimpangan, Kawanua berubah pikiran untuk membawa Salawaku ke pemukiman asal. Namun, Salawaku merajuk. Mereka pun memutuskan untuk tetap menemukan Binaiya agar semua bisa terlihat bahagia.
Pemeranan dalam film ini tidak begitu banyak. Masing-masing karakter saling menguatkan satu sama lain sehingga membentuk benang merah film yang mudah dimengerti dan membuat penonton seolah menjawab teka-teki. Kecemasan yang dialami oleh masing-masing karakter menjadi kata kunci untuk menjawab kehidupan tentang kisah meninggalkan dan ditinggalkan.
Tiga dari empat sosok yang menguasai cerita memiliki penampilan fisik khas Indonesia Timur. Elko Kastanya, Raihaanun, dan Jflows Matulessy dengan rambut keritingnya mampu mewakili wajah-wajah keturunan Ambon. Naturalitas akting juga mengantarkan Elko Kastanya sebagai pemeran anak terbaik dalam Festival Film Indonesia 2016 dan Raihaanun sebagai pemeran pembantu wanita terbaik FFI 2016.
Bertolak belakang dari mereka, ada sosok Saras dengan karakter generasi milenial ibukota yang terkoneksi dengan smartphone berteknologi internet. Hanya saja, kontinuitas riasan wajahnya kurang diperhatikan sehingga tidak mendukungnya saat harus beradegan telah terdampar di pulau begitu lama dalam menyimpan segala problema.