Lihat ke Halaman Asli

Achmad Humaidy

Blogger -- Challenger -- Entertainer

Pendidikan Humanis untuk Semua Manusia

Diperbarui: 29 Mei 2016   23:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

”Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat”. Petuah bijak ini hanya salah satu dari sekian banyak petuah yang seringkali diungkapkan oleh orang tua kita dahulu. Kesadaran mereka akan penting nilai pendidikan dibandingkan dengan hal-hal lain sepatutnya kita junjung tinggi. Kondisi demikian membutuhkan suatu proses yang berkaitan dengan dimensi realitas dan dimensi masa (waktu).

Dulu, masyarakat beranggapan bahwa “semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar pembiayaan yang harus mereka keluarkan”. Padahal, opini seperti itu hanya alasan bagi pandangan mereka untuk tidak memprioritaskan pendidikan dalam kehidupan. Jika kita lihat pada kenyataan, proses pendidikan yang ada telah diperuntukkan bagi siapa saja, tanpa mengenal diskriminasi terhadap SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Pihak Pemerintah seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah memberikan perhatian khusus melalui pemberian subsidi untuk seluruh jenjang pendidikan terkini. Jadi, sudah tak ada lagi alasan yang dapat dikemukakan orangtua untuk mengabaikan dunia pendidikan bagi anak-anak tercintanya.

Pendidikan itu proses pengembangan diri. Suatu proses yang dapat membina nilai-nilai kehidupan menjadi unsur tata kelakuan yang terpuji. Namun, proses pendidikan yang kita hadapi terkadang tidak terlaksana secara efektif dan efisien. Seringkali, ditemukan aspek-aspek pendidikan yang terkesan dilematis dan membutuhkan pelaksanaan pendidikan alternatif yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak.

Saya teringat akan perkataan Bung Karno, “untuk mengubah suatu bangsa, maka ubahlah sistem pendidikannya karena pendidikan adalah tiang untuk kekokohan suatu bangsa.”

Bangsa yang cerdas, bermartabat, berdaya saing, dan berbudi pekerti luhur adalah idaman pendidikan kita. Ini menjadi harga mati yang tak bisa ditawar oleh pemangku kebijakan pendidikan. Kondisi demikian juga merupakan wasiat para bapak bangsa yang harus direalisasikan oleh generasi penerus. Salah satu bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa dalam pendidikan akan terjadi proses humanisasi, pembukaan wawasan, dan cakrawala sehingga hasilnya tidak picik dan kerdil. Pendidikan akan membawa manusia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir sifat alami kemanusiaan.

Jika melihat fenomena sistem pendidikan kita hari ini, tampak gambaran cita-cita para bapak bangsa terdahulu sulit untuk tersirat. Dengan kata lain, jangankan merealisasikan wasiat mulia para bapak bangsa, sistem pendidikan kita hari ini masih menciptakan kebodohan dan penjajahan model baru.

Pertama, paradigma pendidikan didasarkan pada ideologi sekular, yang bertujuan sekedar membentuk manusia-manusia berpaham materialistik dalam pencapaian tujuan hidup, hedonistik dalam budaya masyarakat, individualistik dalam interaksi sosial, serta sinkretistik dalam agama. Ideologi ini menjadikan sistem pendidikan yang dijalankan sebatas membuat program-program pendidikan sebagai sarana trial and error serta menjadikan peserta didik bagai kerinci percobaan.

Kedua, kerusakan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni: (1) lembaga pendidikan formal yang lemah; tercermin dari guru dan lingkungan sekolah atau kampus sebagai medium pendidikan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya; (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung; (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif.

Ibarat tak ada gading yang tak retak. Inilah pepatah yang mewakili sistem pendidikan kita yang berwajah tak sempurna. Kita harus sadar diri bahwa masih banyak permasalahan pendidikan terkait dengan prioritas yang masih jauh dari harapan. Semua itu merupakan indikasi tak ada lagi nilai-nilai dan karakter dari Pancasila yang seharusnya berperan menghasilkan manusia yang tidak hanya rasional tapi juga berbudi luhur.

Jika kita telaah secara mendalam, baik buruknya sistem pendidikan nasional lebih banyak disebabkan adanya solusi yang ditawarkan oleh para pengambil kebijakan (stakeholders) yang bersifat instan, tidak holistik, dan tidak direncanakan secara matang sehingga beban masalah tak kunjung usai. Sudah seharusnya, guru atau dosen berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) dan berfungsi ganda dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality). Lingkungan fisik sekolah atau kampus pun harus menata dan merekondisi kembali budaya-budaya yang sesuai dengan filosofi Tut Wuri Handayani yang bisa memacu proses pembentukan kepribadian peserta didik demi tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan.

Sudah sewajarnya, kita menerapkan konsep pendidikan yang jujur agar menjadi falsafah integral dari proses pendidikan yang tak dapat ditawar. Diharapkan kerja sama yang baik dengan orang tua dan stakeholder sekolah atau kampus agar rona konsep kejujuran pelaksanaan pendidikan alternatif bisa menjadi harga diri dari sistem pendidikan itu sendiri. Hal tersebut mampu diwujudkan sebagai partisipasi kolaboratif dalam setiap pendidikan alternatif. Berarti, dedikasi dan optimisme para pendidik terhadap kesuksesan peserta didik harus tetap tercermin dalam setiap proses belajar-mengajar. Oleh karena itu, guru di Indonesia harus mampu memberikan teladan yang baik bagi anak bangsa agar di hari depan kelak mereka dapat memimpin bangsa secara dewasa, jujur, dan bertanggung jawab. Keberhasilan pendidikan tidak hanya berupa hasil angka-angka di atas kertas, tapi harus diukur pula dari segi moralitas orang yang mendidik dan dididik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline