Lihat ke Halaman Asli

Achmad Fauzi

Karyawan swasta

Kota Bambu dan sepenggal kenangan

Diperbarui: 11 April 2020   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

'Pada hari Saptoe jl toewan schout Hinne dapat kabar dari satoe mata-mata jang si Pitoeng ada di kampung Kota Bamboe,diantara Tandjoeng dan Djati. Setelah dapat itoe kabar, toewan Hinne lantas pergi kesana...'

Demikian kutipan berita disebuah surat kabar yang terbit di Batavia pada tahun 1900-an yang memuat narasi tentang Kota Bambu sebagai sebuah kampung yang tercatat dalam sejarah berupa koran sebuah penerbit.

Bukan hikayat si Pitoeng yang akan saya tulis disini,meskipun kutipan diatas menceritakan tentang si Pitoeng sebagai obyek pemberitaan.

Kota Bambu yang akan saya ceritakan adalah Kota Bambu pada era 70-90an dimana saya lahir dan tumbuh disana bersama kampung besar di bilangan barat Jakarta.

Kalau anda berfikir Kota Bambu pada saat itu asri dan teduh, anda tidak sepenuhnya benar.Karena saya sendiri tinggal di Gang Harlan yang merupakan kawasan 'red zone' dari Kota Bambu.

Pada saat itu kawasan Gang Harlan telah tumbuh dan berkembang sebagai kawasan urban yang cukup padat penduduknya dengan rasio angka kriminalitas yang cukup tinggi dibandingkan kawasan lainnya di Kota Bambu.

Gang Harlan konon adalah nama seorang ekspatriat yang tinggal disana dan membuat akses jalan untuk lalu lalang mobilnya. Nama itu kemudian terabadikan menjadi sebuah kawasan/wilayah dan bukan merupakan sebuah gang.

Di Gang Harlan ada sebuah tempat berupa lapangan luas yang diatasnya pernah berdiri sebuah percetakan yang kemudian disebut lapangan Grafika.

Ditempat yang luas ini ditumbuhi aneka pepohonan dan rumput yang menghijau. Disinilah surganya bermain anak-anak bahkan orang dewasa pada saat itu. Bermain sepak bola,mengumpulkan aneka serangga: kupu-kupu,capung,emas-emasan,memetik anggur hutan, padangan (makan bersama dengan menggelar alas koran) dan lainnya.

Tempat tinggal saya berada didalam sebuah gang kecil. Didalam gang itu saya dan teman-teman juga sering bermain permainan anak -anak kampung seperti celetok, lompat tali atau kopro (karet gelang yang dirangkai menjadi panjang). Atau jika permainan yang dilakukan melibatkan banyak orang, kami bermain di sebidang tanah yang disebut empang. Dan lucunya empang adalah sekedar nama yang telah beralih menjadi tempat tinggal dan petak- petak kontrakan.

Dibelakang rumah orangtua saya berdiri sebuah sentiong, pekuburan Tionghoa yang bertuliskan angka 1933. Entah kenapa di wilayah Kota Bambu banyak sekali sentiong yang berdiri. Mungkin di wilayah ini dulunya merupakan area khusus pemakaman orang Tionghoa dan keturunannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline