KAKAWIN Nagarakretagama menyebutkan bahwa pendiri Kerajaan Majapahit adalah Dyah Wijaya yang diidentikkan dengan Raden Harsawijaya (Serat Pararaton), Nararya Sanggramawijaya (Prasasti Kudadu), atau Jaka Susuruh (Babad Tanah Jawa).
Sebelum Majapahit berdiri atau seusai Singhasari dikuasai oleh Jayakatwang dari Gelanggelang pada tahun 1292, Dyah Wijaya yang disebut Raden Wijaya hidup terlunta-lunta beserta pera pengikutnya: Lembu Sora, Nambi, Mahesa Nabrang, dll.
Berkat usulan Arya Wiraraja yang merupakan dalang tergulingnya kekuasaan Kertanagara dari tahta Singhasari oleh Jayakatwang, Dyah Wijaya mendapatkan wilayah Tarik sebagai pedukuhannya. Manakala pasukan Tartar datang di tanah Jawa untuk berbalas dendam pada Kertanagara, Dyah Wijaya memanfaatkan pasukan tersebut untuk menggulingkan kekuasaan Jayakatwang dari bumi Singhasari.
Sesudah kekuasaan Jayakatwang berakhir dan pasukan Tartar diusir dari Jawa, Dyah Wijaya menobatkan diri sebagai raja di Majapahit. Pada saat itu, Dyah Wijaya yang menjabat sebagai raja bergelar Kertarajasa Jayawardhana (Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana Anantawikramottunggadewa) memberikan anugerah berupa jabatan dan wilayah kekuasaan kepada seluruh pengikut setianya yang turut berjuang mewujudkan impiannya sebagai raja.
Oleh Dyah Wijaya, Arya Wiraraja yang turut merealisasikan berdirinya Kerajaan Majapahit diberi jabatan Pasangguhan serta wilayah Lumajang hingga Blambangan. Ranggalawe mendapat jabatan Pasangguhan dan diangkat menjadi Adipati di Tuban. Nambi mendapat jabatan Rakryan Mahapatih (Perdana Menteri). Lembu Sora diangkat sebagai Patih (Perwakilan Raja) di Daha.
Perang di Sungai Tambak Beras
BERMULA dari pemberian jabatan oleh Dyah Wijaya pada seluruh pengikutnya tersebut justru menimbulkan perselisihan antara Ranggalawe dengan Dyah Wijaya. Ranggalawe menilai bahwa Dyah Wijaya bersifat tidak adil dan tidak bijaksana. Menurut pandangan Ranggalawe, seharusnya Lembu Sora yang memangku jabatan patih dan bukan Nambi. Mengingat pengabdian Lembu Sora kepada Dyah Wijaya lebih besar ketimbang Nambi.
Apa yang dirasakan Ranggalawe atas ketidakadilan itu diungkapkan pada Dyah Wijaya. Namun, raja tetap bersikukuh pada keputusannya, sekalipun Ranggalawse menganggap tidak adil dan tidak bijaksana. Atas keputusan raja yang tidak dapat diubah lagi itu, Ranggalawe kecewa dan pulang ke Tuban.
Beberapa hari sesudah kepergian Ranggalawe dari Majapahit, Halayuda menghasut Nambi kalau Ranggalawe tengah merencanakan pemberontakan. Mendengar pernyataan Halayuda; Dyah Wijaya memerintahkan Nambi, Lembu Sora, Mahisa Nabrang, beserta pasukan Majapahit pergi ke Tuban untuk menangkap Ranggalawe.
Kidung Ranggalawe mengisahkan ketika Arya Wiraraja mendengar Ranggalawe pulang ke Tuban segera menemuinya. Dari perilaku Ranggalawe, Arya Wiraraja menangkap sesuatu yang buruk bakal menimpa putranya. Arya Wiraraja bertanya pada Ranggalawe tentang apa yang terjadi ketika menghadap Dyah Wijaya. Manakala mendapat jawaban dari Ranggalawe, Arya Wiraraja merasa dihadapkan pada pilihan dilematis: cinta pada putranya atau tetap setia pada Dyah Wijaya.
Selang beberapa saat, Arya Wiraraja memberikan nasihat pada Ranggalawe agar tetap setia pada Dyah Wijaya. Karena nasihatnya hanya dianggap angin lalu oleh Ranggalawe, Arya Wiraraja memanggil para Menteri, Kepala Desa, Akuwu, dan Demang untuk memersiapkan pasukan yang akan digunakan sebagai kekuatan untuk menghadapi serangan pasukan Majapahit.
Pasukan Ranggalawe yang sudah terbentuk itu meninggalkan Tuban. Manakala pasukan Ranggalawe akan menyeberangi Sungai Tambak Beras, airnya sedang pasang. Hingga pasukan Ranggalawe dapat dikejar oleh pasukan Majapahit yang berada di bawah komando Nambi. Pasukan Ranggalawe itu berakhir mengalami kenaasan di tangan pasukan Majapahit.