Berpijak pada beberapa sumber sejarah bahwa kerajaan tertua di Jawa dimulai sejak abad ke-7. Pada masa itu, Depunta Hyang (pendiri Kerajaan Sriwijaya) dan Santanu (raja bawahan Sriwijaya) tinggal di wilayah Pantai Utara Jawa. Waktu itu, Kartikeyashinga pula menjadi raja di Kalingga. Sesudah Kertikeyasingha mangkat, Ratu Jay Shima istrinya naik tahta.
Paska runtuhnya Kalingga, muncul Kerajaan Kalingga Selatan di bawah kepemimpinan Dewa Singha dan Kalingga Utara di bawah kekuasaan Sanjaya. Sesudah menundukkan Kalingga Selatan dengan jalan perang, Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang (Jawa Tengah) pada tahun 717. Namun kekuasaan Sanjaya berhasil dilumpuhkan oleh Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (Dinasti Sailendra) pada tahun 760. Sejak itu, Medang dikuasai secara berkesinambungan oleh raja-raja dari Dinasti Sailendra yakni Dyah Pancapana (760-775), Rakai Panunggalan Dyah Dharanendra (775-800), Rakai Warak Dyah Samaragrawira (800-812), Rakai Garung Dyah Samaragriwa atau Samaratungga (812-833), dan Pramodhawardhani (833-856). Ketika Rakai Pikatan Mpu Manuku yang menikahi Pramodhawardhani menjadi raja (838-855), Medang kembali dikuasai raja-raja dari Dinasti Sanjaya hingga pemerintahan Rakai Sumba Dyah Wawa (924-928).
Meletusnya Gunung Merapi (928) menandai berakhirnya Kerajaan Medang di Jawa Tengah. Karena Mpu Sindok memindahkan ibukota Medang dari bumi Mataram ke Tamlang dan berakhir di Watugaluh (Jawa Timur) pada tahun 929. Sejak kemangkatan Mpu Sindok pada tahun 947, Medang dikuasai secara berkesinambungan oleh keturunannya yakni Sri Isanatunggawijaya, Makutawang Sawardhana, dan Dharmawangsa Teguh (985-1016).
Sungguhpun sejarah Medang berakhir semasa pemerintahan Dharmawangsa Teguh, namun sejarah kerajaan di Jawa terus berlanjut secara berkesinambungan. Paska Kerajaan Medang periode Jawa Timur, muncul Kerajaan Kahuripan (1019), Janggala dan Kadiri (1042), Singhasari (1222), Majapahit (1293), Kesultanan Demak (1478), Kesultanan Pajang (1549), Kerajaan Mataram Islam (1587), Kasunanan Kartasura (1680), Kasunanan Surakarta (1745), dan Kesultanan Yogyakarta (1756).
Medang
Keberlangsungan kerajaan-kerajaan di Jawa niscaya diwarnai dengan intrik, konspirasi perebutan harta, tahta, dan wanita. Pada era pemerintahan Dewa Singha, Kalingga Selatan diserang oleh Sanjaya. Akibat serangan itu, tahta kekuasaan Dewa Singha tergulingkan. Paska runtuhnya Kalingga Selatan, Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang dan menobatkan diri sebagai raja.
Selama keberlangsungan Kerajaan Medang diwarnai aksi makar dan perang saudara untuk memerebutkan tahta kekuasaan. Fakta ini dibuktikan dengan aksi makar Rakai Panangkaran Dyah Pancapana terhadap kekuasaan Sanjaya, makar Rakai Walaing Mpu Kombhayoni terhadap kekuasaan Rakai Pikatan Mpu Manuku, makar Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Rakai Limus Dyah Dewendra terhadap kekuasaan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, penyerangan Rakai Watukura Dyah Balitung terhadap Dyah Saladu dan Dyah Dewendra, makar Rakai Hino Mpu Daksa terhadap kekuasaan Dyah Balitung, dan makar Rakai Sumba Dyah Wawa terhadap kekuasaan Rakai Layang Dyah Tulodong.
Pemerintahan Dyah Wawa berakhir bersama meletusnya Gunung Merapi yang teramat dahsyat pada tahun 928. Sejak itu, Mpu Sindok yang merupakan Rakryan Mapatih Hino memindahkan ibukota Medang dari bumi Mataram (Jawa Tengah) ke Tamlang dan berakhir di Watugaluh (Jawa Timur) pada tahun 929. Mengingat Dyah Wawa menjadi korban bencana Merapi, Mpu Sindok kemudian menobatkan diri sebagai raja Medang.
Tidak disebutkan secara pasti apakah semasa pemerintahan Mpu Sindok, terjadi makar. Prasasti Waharu (931) hanya sekilas menyinggung bahwa Medang pernah mendapat serangan dari musuh negara. Apakah musuh negara itu datang dari para pemberontak atau kerajaan lain tidak disebutkan secara pasti.
Semasa pemerintahan raja wanita Sri Isanatunggawijaya dan Sri Makuthawangsawardhana tidak diketahui apakah Medang dilanda aksi makar. Makar pada era Medang periode Jawa Timur baru diketahui semasa pemerintahan Dhamawangsa Teguh. Saat itu, Haji Wurawari yang merupakan raja bawahan Medang memberontak terhadap kekuasaan Dharmawangsa Teguh sesudah tidak direstui untuk menikahi putrinya yakni Dewi Laksmi.
Makar Haji Wurawari dari Lwaram atas kekuasaan Dharmawangsa Teguh menuai hasil gemilang karena dukungan Sriwijaya. Akibat makar Haji Wurawari, Dharmawangsa Teguh tewas beserta para tamu undangan resepsi pernikahan Dewi Laksmi dan Airlangga. Peristiwa tewasnya Dharmawangsa Teguh dan para tamu undangan itu dikenal dengan mahapralaya (kematian massal).