Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

TERVERIFIKASI

Biografi Sri Wintala Achmad

Babad Tanah Jawa, Kandungan, dan Generasi Milenial

Diperbarui: 20 Juni 2019   01:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.bukalapak.com 

SEBAGAI masyarakat Jawa, kita perlu berbangga hati terhadap para leluhur yang telah memaknai zamannya dengan karya-karya sastra masterpiece-nya. Sekalipun dari sebagian karya tersebut sekadar merupakan pesanan (perintah) dari seorang raja kepada pujangga negaranya baik secara individual maupun kolektif atau sekadar sebagai legitimasi pujangga terhadap kedudukan rajanya. Bisa dikatakan, bahwa karya sastra yang tidak bersifat independen dan bersuara kritis tersebut merupakan bentuk persembahan (puja-puji) dari seorang (para) pujangga kepada rajanya.

Dalam catatan sejarah, seorang pujangga yang menggubah karya sastra pertama kali adalah Mpu Kanwa. Seorang pujangga yang hidup semasa pemerintahan Airlangga (Sri Maharaja Rakai Halu Sri Darmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa) di Kahuripan pada 1009-1042. Melalui Mpu Kanwa yang mendapat amanat dari Airlangga, Kakawin Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari Kakawin Mahabharata itu dilahirkan (1035). Kitab yang merefleksikan perjuangan Airlangga untuk menaklukkan Wurawari  tersebut mengisahkan perjuangan Arjuna di dalam melumpuhkan keangkaramurkaan Prabu Niwatakawaca.

Pada masa pemerintahan Kamesywara (Sri Maharaja Sri Kamesywara Triwikramawatara Aniwariwirya Anindita Digjaya Uttunggadewa) pada tahun 1116-1135, hiduplah seorang pujangga bernama Mpu Darmaja. Oleh Kamesywara, Mpu Darmaja mendapat amanat untuk menggubah karya sastra Kakawin Smaradahana. Karya tersebut mengisahkan tentang terbakarnya Kamajaya dan Ratih di ambang kelahiran Ganesha (dewa berkepala gajah). Pasangan dewa-dewi tersebut kemudian menjelma ke dalam Sri Kamesywara dan permaisurinya yang bernama Sri Kirana. Kakawin Smaradahana kemudian menjadi cikal-bakal kisah panji yang sangat tersohor di lingkungan masyarakat Jawa.

Masih di wilayah Kadiri. Semasa pemerintahan Jayabhaya (Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa) yang memerintah pada 1135-1159, hiduplah sepasang pujangga bernama Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Melalui kedua mpu tersebut, lahirlah Kakawin Mahabharata (1157). Kakawin Mahabharata yang mengisahkan kemenangan Pandawa atas Korawa itu merefleksikan kemenangan Kadiri atas Janggala. Pandangan lain, Kakawin Mahabharata melukiskan prestasi Jayabhaya yang berhasil menyatukan 2 wilayah warisan Airlangga tersebut. Pada masa itu pula, Jayabhaya menggubah Serat Kalatidha. Karya yang melukiskan tanda-tanda datangnya zaman kalabendu.

Duaratus delapan tahun kemudian dari tahun 1157, atau tepatnya pada tahun 1365, munculnya Kakawin Nagarakretagama. Karya sastra yang digubah oleh Mpu Prapanca (Dang Acarya Nadendra) berisikan pujian-pujian terhadap raja-raja Majapahit, terutama raja Hayam Wuruk (Maharaja Sri Rajasanagara) yang memerintah pada tahun 1350-1389. Kemudian pada tahun 1365-1389, lahirlah Kakawin Sotasoma karya Mpu Tantular. Di dalam karya tersebut memuat tentang Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrowa.

Sesudah kelahiran Kakawin Nagarakretagama dan Kakawin Sotasoma, tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan kelahirkan karya sastra masterpiece terbaru semasa pemerintahan Wikramawardana hingga Girindrawardana Dyah Ranawijaya di Majapahit. Demikian pula semasa pemerintahan Raden Patah hingga Sunan Prawoto di Kasultanan Demak atau semasa pemerintahan Sultan Hadiwijaya hingga Pangeran Banawa di Kasultanan Pajang. Baru pada masa pemerintahan Sultan Agung (raja Kasultanan Mataram Baru ke 4), lahirlah Serat Sastra Gending.

Perkembangan karya sastra baru mengalami puncaknya pada masa Kasunanan Surakarta (abad 18). Beberapa karya sastra baik yang digubah oleh raja, pujangga, maupun yang bersifat anonim dilahirkan. Beberapa karya sastra masterpiece yang diciptakan, antara lain: Serat Centhini gubahan R.Ng. Yasadipura II, Ng. Ranggasutrasno, R.Ng. Sastrodipuro, Pangeran Jungut Manduraja, dan Kyai Mohammadl; Pustaka Purwa, Kalatidha, Sabdatama, Sabdajati karya R.Ng. Ranggawarsita III; Babad Tanah Jawa karya Pangeran Karanggayam, Pangeran Adilangu II, Tumenggung Tirtawiguna, dan Carik Braja; dan karya yang lain.

Babad Tanah Jawa

BABAD Tanah Jawa dapat disebutkan sebagai karya sastra sejarah dalam bentuk tembang macapat. Karya ini memuat tentang cikal-bakal (nenek moyang) raja-raja Mataram Islam yakni bermula dari Nabi Adam, dewa-dewa, hingga raja-raja yang pernah berkuasa di tanah Jawa. Raja-raja yang pernah menguasai tlatah Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram Islam (Kasunanan Surakarta).

Karya sastra sejarah Babad Tanah Jawa yang berunsur mitologi dan pengkultusan tersebut memiliki keragaman versi. Namun menurut Hoesein Djajadinigrat, keragaman versi tersebut disederhanakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama: Babad Tanah Jawa yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Pakubuwono III. Kelompok ke dua: Babad Tanah Jawa bertarikh 1722 yang diterbitkan oleh Pangeran Adilangu II.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline