Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

TERVERIFIKASI

Biografi Sri Wintala Achmad

Mudik "No", Silaturahmi pada Tetangga "Yes"

Diperbarui: 7 Juni 2018   22:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tribunnews

"MANGAN ora mangan waton kumpul."

Secara harfiah, peribahasa Jawa yang saya kutip di muka memiliki makna: "Makan tidak makan asal kumpul". Berakar dari peribahasa yang diajarkan orang tua kepada anak-anaknya di masa silam itu diperkirakan menjadi motivator bagi para perantau untuk mudik menjelang lebaran. Dengan mudik, mereka bertujuan untuk dapat berkumpul dengan keluarga yang lama ditinggalkan.

https://andiktaufiq.wordpress.com

Perkiraan di muka bisa dinilai benar, bisa juga salah. Benar, mengingat banyak orang Jawa yang bekerja di perantauan melakukan mudik menjelang lebaran. Salah, karena mudik yang telah menradisi itu tidak hanya dilakukan orang Jawa. Banyak orang dari luar Jawa juga melakukannya.

Bahkan tradisi mudik tidak hanya dilakukan kaum muslim, namun pula kaum non-muslim. Mereka meluangkan waktu untuk mudik agar dapat berkumpul dengan sanak-saudaranya yang non muslim. Di saat mudik, mereka mengucapkan, "Selamat hari raya 'Idul Fitri"; serta bermaaf-maafan dengan sanak-saudaranya yang beragama Islam.

Jauh di Mata Dekat di Hati

Mudik dimaknai sebagai tradisi yang selalau mewarnai menjelang lebaran. Karena bukan kewajiban beragama, banyak kaum muslim tidak melakukan tradisi itu. Hal ini disebabkan alasan-alasan personal.

detik.com

Sebagaimana orang-orang yang tidak mudik, saya pun memiliki tiga alasan ketika tidak turut mudik. Suatu tradisi dadakan yang terkesan sudah melatah. Perihal kenapa saya tidak mudik, berikut alasannya:
  1. Pemahaman orang Jawa sebenarnya mengenai peribahasa "Mangan ora mangan waton kumpul" tidak mengacu pada pertemuan dengan keluarga secara fisik, melainkan secara batiniah. Sekalipun berjarak jauh dengan keluarga, namun rasa tetap bersatu ("Jauh di mata tetap dekat di hati").
  2. Mengamalkan pesan leluhur Jawa, "Di mana saudara terdekat ketika kalian merantau bukan saudara kandungmu (tetangga kampung asalmu), melainkan tetangga kiri-kananmu di mana kamu sekarang tinggal. Tersebab saat kamu sedang kerepotan atau sakit, orang yang menolongmu bukan saudara kandungmu yang jauh, melainkan tetangga kiri kananmu. Maka ketika lebaran, jangan mudik sebelum kamu bersilaturahmi dan meminta maaf pada tetangga kiri-kananmu."
  3. Tidak melakukan mudik menjelang lebaran, karena tidak ingin terjebak kemacetan panjang yang membuat stress. Tetapi alasan ini sangat personal. Sebab banyak orang tetap melakukan mudik dan tidak pernah jera ketika berjam-jam terjebak kemacetan.

Lain Lubuk Lain Belalang

"Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya". Denmikianlah, peribahasa Indonesia yang maknanya identik dengan "Lain kepala lain pikirannya". Demikianlah pula, peribahasa yang melukiskan perbedaan pandangan saya dengan pandangan orang lain yang selalu melakukan tradisi mudik menjelang lebaran.

Sungguhpun begitu, saya tetap menghargai kepada orang-orang yang melakukan tradisi mudik. Dus, mereka melakukan tradisi itu untuk tujuan positif. Bukan untuk memamerkan kekayaan (mobil baru) pada keluarga dan orang-orang di kampung halamannya sewaktu tinggal di perantauan.

-Sri Wintala Achmad-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline