Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

TERVERIFIKASI

Biografi Sri Wintala Achmad

Cerpen | Petromak dan Kucing Hitam

Diperbarui: 30 April 2018   16:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. (pixabay.com)

DENGAN petromak warisan mendiang ayahnya, Baya masih dapat bernapas. Meskipun zaman berubah cepat seperti disulap seorang pesihir sakti. Setiap malam, Baya selalu menyusuri pematang sawah. Menyuluh belut buat dijual keliling menjelang matahari lahir dari rahim malam.

Sepulang menjual hasil kerja, Baya selalu menyempatkan minum secangkir kopi dan mengisap sigaret yang disiapkan istrinya. Menik yang telah menggunakan separuh rumah Baya di dekat terminal kecil pinggiran kota Ayodyakarta sebagai warung pelacuran.

"Penghasilanmu hari ini lumayan, Kang?"

"Berkat doamu, penghasilan yang kudapat lebih dari cukup." Baya menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap. Sigaret diisapnya kuat-kuat. Seperti bos besar, Baya menghempaskan asap sigaret dari mulutnya. Di kursi panjang ruang tamu, Baya mengecup kening Menik dengan mesra. "Bagaimana dengan penghasilanmu semalam, Nik?"

"Sial! Selepas Kang Baya meninggakan rumah, Jarkisah yang kedatangan tamu bulanannya mendadak pulang ke kos. Sri Koplak keluar dengan kenalan barunya. Zainab teler berat karena baru terserimpung persoalan dengan suaminya. Tinggal Rulyati, Yanti, Minuk, dan Kasimah. Dagangan peyot yang tak laku di pasaran.

"Jangan marah, Nik!" Baya mengusap-usap rambut istrinya yang lurus panjang sampai ke pinggang. "Rezeki memang gampang-gampang susah dicari. Pakailah yang duaratus ribu buat kebutuhan kita hari ini. Aku gunakan yang seratus ribu ini saja."

"Buat mabuk dengan Kang Togok. Tobil, dan Macan? Awas!"

"Buat isi dompet. Segeralah ke pasar! Hari berangkat siang."

Menik tersenyum. Mengambil empat lembar limapuluh ribuan di atas meja. Mencubit lengan kekar Baya yang ketiaknya menyeruakkan bau tak sedap. "Tidak usah ngluyur! Tidur saja! Wajahmu tampak pucat."

Baya mengangguk patuh seperti budak dengan nyonya besarnya. Bersama istrinya yang tengah bergegas pergi ke pasar. Baya beranjak dari kursi. Menuju kamar tidur dengan membawa petromaknya. Sebelum merebahkan tubuh, Baya meletakkan petromak di atas almari kayu.

Dalam keletihan, mata Baya yang belum mau dipejamkan itu menatap petromak di atas almari. Petromak itu mengingatkan Menik. Mantan pelacur yang ditemuinya setahun silam sewaktu tergeletak pingsan di gubuk tengah hamparan sawah seusai diperkosa tujuh preman terminal. Baya selalu meneteskan air mata bila teringat pertemuan pertamanya dengan Menik. Karenanya, Baya semakin menyayangi petromak yang telah berjasa besar dalam kehidupannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline