DI DALAM seni pertunjukan wayang purwa, terdapat 2 karya sastra adiluhung yang menjadi sumber cerita untuk dikisahkan oleh seorang dalang, yakni: yakni KakawinRamayana karya Walmiki dan KakawinMahabharata karya Vyasa (Wiyasa atau Abiyasa). Dua kitab babad yang berasal dari India dan berlatar belakang ajaran agama Hindu.
KakawinRamayana mengisahkan peperangan antara pasukan raksasa Alengka di bawah komando Prabu Rahwanaraja (Prabu Dasamuka) melawan pasukan kera Ayodia di bawah komando Prabu Rama Wijaya. Perang tersebut timbul sesudah Rahwanaraja menculik Dewi Shinta di Hutan Dandaka.
Dalam perang tersebut; Prabu Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka, Patih Prahasta, Indrajid, dan pasukan raksasa berhasil ditaklukkan oleh pasukan Ayodia. Dengan demikian, Shinta kembali ke tangan Rama Wijaya.
Sementara KakawinMahabharata mengisahkan tentang kehidupan keluarga Bharata yang berujung pada perang Bharatayuddha antara keluarga Pandawa dan Korawa. Dalam perang tersebut, pasukan Pandawa (Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa) mendapat dukungan Prabu Kresna (raja Dwarawati), Prabu Matsyapati (raja Wirata), Setyaki, Trustajumena, Resi Seta, dll.
Sementara, pasukan Korawa (Prabu Doryudana, Dorsasana, Bogadenta, dst) mendapat dukungan Resi Bisma, Resi Drona, Patih Sengkuni, Prabu Salya (raja Mandaraka), Karna (adipati Awangga), Jayadrata (adipati Banakeling), dll.
Perang Bharatayuddha timbul, karena Korawa mengkhianati janji untuk memberikan bumi Indraprasta sesudah Pandawa berhasil menjalani hukuman buang selama 12 tahun dan penyamaran selama 1 tahun. Di akhir perang, Pandawa mengalami kejayaan.
Bila dikaji makna filosofisnya baik KakawinRamayana maupun Kakawin Mahabharata mengajarkan bahwa keangkaramurkaan yang merupakan sifat Prabu Rahwanaraja atau Prabu Doryudana hanya dapat ditaklukkan dengan kebajikan yang merupakan sifat Prabu Rama Wijaya atau Prabu Puntadewa.
Dalam peribahasa Jawa, hal ini sering diungkapkan dengan Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti. Sesakti apapun, namun bila seseorang memiliki sifat angkara murka akan dapat dihancurkan oleh kebajikan.
Selain pada kisahnya, makna filosofis dalam seni pertunjukan wayang purwa tersirat pada seluruh unsur di dalamnya, seperti: blencong, kelir, kayon, wayang, simpingan, kotak, dalang, gamelan, dll. Adapun makna filosofi dari masing-masing unsur di dalam seni pertunjukan wayang purwa tersebut, sebagai berikut:
- Blencong melambangkan sumber cahaya yang dapat diidentikkan dengan nurillah (Tuhan).
- Kelir melambangkan langit.
- Kayon (gunungan) melambangkan bumi seisinya.
- Wayang melambangkan makhluk Tuhan (manusia, binatang, tumbuhan, dan benda mati).
- Simpingan kanan dan kiri melambangkan sifat baik dan buruk manusia.
- Kotak melambangkan gerak paru-paru yang berkaitan dengan napas (hawa/nyawa) manusia.
- Kecrek melambangkan aliran darah (rah/roh) yang berkaitan dengan jantung manusia.
- Dalang melambangkan logika, intuisi, imajinasi, rasa, nafsu, manusia yang menggerakkan raga.
- Gamelan melambangkan kebutuhan primer (sandang, pangan, papan); sekunder; dan tersier manusia.
Dari uraian di muka bisa disimpulkan bahwa seni pertunjukan wayang purwa memiliki makna filosofis yang sangat tinggi. Karenanya, seni pertunjukan wayang purwa disebut seni adiluhung yang mengajarkan filosofi bagi manusia. Filosofi yang bukan sekadar berkelindan dengan sifat baik- buruk manusia, melainkan pula merambah pada hubungan kosmis antara jagad ageng, makrokosmis, atau Tuhan dengan jagad alit, mikrokosmis, atau manusia.
Suatu hubungan kosmis yang ideal dan selanjutnya diidentikkan dengan manunggaling kawula-Gusti. Di mana hal tersebut merupakan persyaratan mutlak bagi manusia yang ingin mencapai kasampurnaning dumadi (hidup sempurna).