Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

TERVERIFIKASI

Biografi Sri Wintala Achmad

Roh Dumadi yang Menjelma Burung Kematian

Diperbarui: 8 Maret 2018   19:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: burungue.blogspot.co.id

LANGIT bergemuruh. Tiga helikopter yang terbang rendah menuju Pulau Kematian itu memecah pagi. Hingga orang-orang Desa Brebek yang masih menuntaskan mimpinya di balik selimut tebal itu sontak terbangun. Mereka bertanya-tanya dalam hati, "Apakah akan ada perang?"

Sangli. Perempuan tua yang pernah mengalami getirnya nasib di zaman penjajahan itu bergegas beranjak dari tempat tidur. Setengah terhuyung, Sangli berjalan menuju halaman rumah. Sebagaimana tetangga kiri-kanannya, Sangli menengadahkan wajah yang berkeriput itu ke langit. Kedua matanya tak menangkap ketiga helikopter yang masih meninggalkan jejak suaranya.

"Kenapa Nenek terus menatap langit? Helikopter-helikopter itu telah pergi." Badrul, cucu Sangli menatap keriput pipi neneknya yang mulai basah air mata. "Kenapa Nenek menangis?"

Sangli yang tak menggubris pertanyaan Badrul itu terus menatap titik kulminasi langit. Sepasang matanya yang tak lagi melacak bayangan ketiga helikopter itu menangkap sosok Dibya. Bayangan mendiang suaminya yang tujuhpuluh empat hingga tujuhpuluh delapan tahun silam turut memanggul senapan untuk melawan serdadu Jepang dan Belanda itu senampak kelelawar kesiangan. Terbang kesana kemari. Mencari lubang langit yang menjadi pintu menuju surga.

Tanpa mengerdipkan mata, Sangli terus menatap bayangan Dibya sebelum lenyap ditelan awan tipis. Keriput pipinya semakin basah air mata. Perasaannya sangat iba pada Dibya yang belum mendapatkan jalan ke surga karena masih menanggung beban di dunia. Dumadi alias Andi Azis anaknya yang dilahirkan limapuluh dua tahun silam bukannya menjadi seorang tentara, melainkan menjadi teroris negara. Mengebom kota demi kota hingga tertangkap oleh pasukan anti teroris dan berakhir dijebloskan ke dalam penjara.

Sangli menundukkan wajah, hingga air matanya bertetesan di kebaya luriknya. Dengan langkah gontai, Sangli memasuki rumah bersama Badrul. Putra semata wayang Dumadi yang sekian lama ditinggal minggat Marni ibunya. Kepergian Marni yang tak diketahui rimbanya itu karena tak segaris dengan pemahaman Dumadi dalam soal kepercayaan.

Di kursi kayu sudut ruang tamu, Sangli duduk sambil merenungi nasibnya yang tak semujur sebagaimana dibayangkan sejak menikah dengan Dibya. Seorang pejuang yang kemudian mendapatkan pangkat sersan mayor, namun akhirnya tewas di tepi sungai sesudah didakwa sebagai pemberontak negera. Sejak kematian Dibya itulah, Sangli menjadi single parent yang harus membanting tulang sebagai buruh gendong di pasar untuk menghidupi dan membiayai sekolah Dumadi.

Hati Sangli serasa disayat-sayat ribuan silet, sewaktu mengenang nasib buruknya yang sejak masa silam hingga sekarang tak pernah berubah. Terlebih sawaktu ia memikirkan Dumadi yang terbukti sebagai pelaku pengeboman hotel bintang lima di ibukota itu akan dieksekusi mati bersama tiga teroris dan lima pengedar narkoba di Pulau Kematian.

"Kenapa Nenek tampak sangat sedih?" Badrul memecah suasana senyap di dalam ruang tamu. "Jangan bersedih, Nek! Aku jadi ikut sedih."

Sangli mengusap air mata yang masih membasahi keriput pipinya. Memaksakan senyuman hambar untuk mengelabui perasaan dukanya kepada Badrul. Cucu satu-satunya yang membuatnya masih ingin memertahankan hidup di tengah penderitaan batinnya.

"Kenapa Nenek tak menjawab pertanyaanku?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline