Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

TERVERIFIKASI

Biografi Sri Wintala Achmad

Dongeng | Ranjaban Abimanyu [Bagian 1]

Diperbarui: 6 Maret 2018   19:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

caritawayang.blogspot.co.id

KURUSETRA yang semula seperti taman Eden tempat dimana Adam-Eva memadu kasih pada beribu-ribu tahun silam telah berubah serupa telaga berdarah. Bangkai-bangkai prajurit rucah yang hilang kepalanya, bocor perutnya, atau buntung kaki atau lengannya bercampur dengan bangkai kuda dan gajah. Berbaur dengan patahan tombak, busur, dan panah; rongsokan tameng, pedang, dan keris; serta selongsong-selongsong peluru.

Bharatayuda memasuki hari ke sebelas. Namun sudah sekian ribu prajurit rucah dan puluhan senapati perang dari kubu Korawa dan kubu Pandawa menjadi tumbal proyek politis Bathara Guru. Proyek yang disepakati oleh Lembaga Kadewatan, agar Bathara Guru tetap dikokohkan sebagai penggagas Kitab Jitabsara dan penentu Bharatayuda. Perang dimana keangkaramurkaan manusia bakal dilibas habis oleh kebajikan. Perang yang merupakan ambang binasanya kebajikan di muka bumi, manakala keangkaramurkaan punah bersama pemuja-pemujanya.

Ibarat dua warna hitam dan putih di dalam lingkaran zin-yang. Kebajikan dan keangkaramurkaan berhelat seiring denyut jantung dan hembusan napas. Perhelatan dalam warna kelabu yang tak ada kalah tak ada jawaranya. Hingga manusia tak dapat membedakan mana yang baik mana yang jahat, ketika kehidupan berputar menuju titik akhir. Sebagaimana titik awal yang tak seorang pun tahu kapan waktunya. Demikian pula para dewa tak mengetahui rahasia Tuhan. Termasuk di dalamnya, Bathara Guru. Dewa yang tinggal di jagad madya. Jagad di antara surga dan dunia.

Manusia memang tempat ketaktahuan atas rahasia kapan mula dan berakhirnya kehidupan. Ibarat anak wayang, manusia yang semula tinggal di dalam kotak pra kehidupan sekonyong-konyong tahu kalau keberadaannya telah ditampilkan oleh seorang dalang di kelir. Manusia tak pernah tahu kapan blencong dinyalakan. Kapan kayon bakal ditancapkan di tengah kelir oleh sang dalang sebagai lambang keparipurnaan cerita seusai tayungan.

Ketaktahuan tentang titik awal dan akhir kehidupan yang dirahasiakan Tuhan itu membuat Bathara Guru tak sungkan-sungkan bertanya pada Narada. Sebagai dewa yang lebih tua usianya, Narada pun hanya memberikan jawaban yang membuat Guru kecewa. "Wrekencong, wrekencong waru dhoyong. Kinclong-kinclong, sindhen ayu moblong-moblong. Kali Srayu kali Code, bocah ayu sapa sing duwe. He..., he..., he.... Mohon seribu ampun, Adi Guru. Bukankah yang mengetahui tentang kapan dimulainya dan kapan diakhirinya kehidupan ini hanyalah Gusti Kang Hamurbeng Dumadi? Dialah Sang Maha Dalang yang tengah menggerakan seluruh wayang pilihan di dalam lakon Bharatayuda ini."

Sementara dari tepi padang Kurusetra, Bisma yang rebah tertopang ribuan panah yang menembus sekujur tubuhnya itu hanya tersenyum. Manakala kedua matanya menyaksikan Bathara Guru yang tampak kecewa di ara-ara mega atas jawaban Narada. Senyum Bisma semakin lepas, manakala Guru yang tak puas dengan jawaban Narada itu disarankan para dewa untuk bertanya pada dirinya. Seorang pertapa yang pengetahuannya melampaui para dewa.

"Tak mungkin aku bertanya pada Bisma." Bathara Guru yang ilmu pengetahuannya masih dangkal itu kemudian menunjukkan kekuasaan, kegengsian, dan kejaimannya. "Aku ini seorang dewa. Masak bertanya pada Bisma yang hanya titah sawantah. Bagaimana kata dunia nanti?"

"Ampun, Adi Guru." Dewa kerdil Narada kembali berceloteh. "Kalau malu bertanya pada Bisma, sebaiknya Adi Guru bertanya pada Kakang Semar. Sekalipun secara lahir sebagai manusia biasa, namun batin Kakang Semar adalah dewa."

Mendengar nama Semar disebut-sebut Narada, Bathara Guru yang beberapa puluh tahun silam pernah menjadi saingan politisnya dalam memperebutkan takhta kekuasaan Suralaya itu hanya menundukkan wajahnya ke bumi. Menyaksikan perang antara pasukan Korawa dan pasukan Pandawa yang kembali berkecamuk di Kurusetra. Di bawah komando Resi Dorna, pasukan Korawa tampak lebih unggul dari pasukan Pandawa. Bidikan panah Dorna mampu mematahkan busur Yudistira.

Yudistira geragapan dengan wajah pucat, manakala menyaksikan busurnya patah. Mengetahui busur Yudistira patah, pasukan Korawa yang mendapatkan dukungan seribu negara serempak bersorak galak. Sementara pasukan Pandawa yang mendapatkan dukungan Wirata, Dwarawati, Cempalareja, Pringgodani, Tanjunganom, dan beberapa negeri kecil lainnya hanya terdiam sembari menyembunyikan wajah yang menyiratkan rasa malu. Demikian pula Arjuna yang tanpa diketahui Yudistira kemudian membidikkan sebatang panah dengan busurnya. Sekali melesat, panah itu berubah menjadi ribuan panah. Sontak Kurusetra bagai hujan panah. Manakala ribuan panah Arjuna mendapatkan sambutan ribuan panah dari pasukan Korawa.

Dalam hati Bathara Guru tak senang kalau Arjuna kembali jaya di medan laga, seusai kemarin siang melumpuhkan Bisma dengan bertudung Srikandi. Kejayaan Arjuna hanya mengundang seluruh bidadari Suralaya untuk memberikan pujian dan salam 'muah' dari setangkup bibir sensual, sembari menaburkan bunga-bunga kemenangan dari langit. Bidadari-bidadari itu tak hanya Warsiki, Irimirin, Tunjungbiru, Wilutama, Gagarmayang, Lenglengmulat, dan Supraba; namun pula Uma permaisurinya. Itulah yang membuat Guru amat cemburu pada Arjuna!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline