Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

TERVERIFIKASI

Biografi Sri Wintala Achmad

Membaca Sejarah Perpuisian di Yogyakarta

Diperbarui: 28 Februari 2018   23:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

SEJAK era Angkatan 66, Persada Studi Klub (PSK), Pengadilan Puisi, Himpunan Sastra Indonesia (HISMI), hingga era puisi cyber; ratusan penyair dilahirkan di Yogyakarta. Seiring perjalanan waktu, sebagian mereka masih banyak yang konsisten sebagai pencipta puisi. Namun, sebagian lainnya memilih pensiun. Mengingat profesi di luar kepenyairan dipertimbangkan lebih memberikan harapan akan perbaikan nasib ekonomis dirinya dan keluarganya di hari kelak.

Melalui PSK yang didirikan Umbu Landu Paranggi, Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budi Santosa yang bermarkas di Malioboro tersebut telah memberikan kontribusi besar terhadap geliat sastra di Yogyakarta. Tidak hanya kala itu, melainkan gemanya masih kita tangkap sampai era pusi cyber hari ini.

Konsistensi dari beberapa penyair alumnus PSK semisal Iman Budhi Santosa, Musthofa W Hasyim, Fauzi Abdul Salam, dll yang turut memerjuangkan pertumbuhkembangan perpuisian di Yogyakarta tersebut telah mengukuhkan legitimasi mereka sebagai para suhu. Sehingga mereka menjadi tempat jujugan (tujuan) para penyair muda yang ingin menimba ilmu dalam penciptaan puisi. Niscaya mereka akan mengajarkan kepada para penyair muda bahwa puisi bukan sekadar permainan kata-kata indah. Akan tetapi, puisi seyogianya ditangkap sebagai refleksi pengalaman empirik yang diciptakan penyair melalui proses pengamatan, pencerapan, metabolisme (pengendapan), penuangan, dan revisi. Sehingga karya puisi mencapai standar kualitatifnya.

Sekalipun demikian, para suhu senantiasa menyadari bahwa geliat perpuisian di Yogyakarta tetap tergantung di tangan para penyair muda selama menekuni proses kreativitasnya. Karena itu, kebulatan tekad para penyair muda guna menguasai teknik penuangan, memerkokoh spesifikasi gaya penciptaan, memertajam sense dan intelektual (imajinasi, intuisi dan logika), serta pemahaman akan ilmu bahasa, filsafat dan pengetahuan lain sangat diperlukan.

Langkah lain yang harus ditempuh oleh para penyair muda, yakni: pertama, banyak membaca karya puisi dari penyair lain baik yang dipublikasikan melalui media massa, buku, atau situs puisi di media sosial. Dengan banyak membaca puisi karya penyair lain, para penyair muda akan mendapatkan referensi dan termotivasi untuk menciptakan karya yang apresiatif.

Kedua, menjalin interaksi kreatif intensif dengan sesama penyair. Langkah ini sangat efektif untuk menunjang proses penciptaan karya puisi. Tingkat efektivitasnya tidak hanya dibuktikan oleh para penyair PSK. Para penyair paska PSK seangkatan Andrik Purwasito, Ahmadun Y Herfanda, Bambang Widiatmoko, Joko Pinurbo, Ida Ayu Galuh Pethak, Nana Irnawati, Indra Tranggono, Denok Kristianti, Marjuddin Suaeb, Budi Nugroho, dll pula membangun jalinan interaksi kreatif antar penyair baik melalui sanggar maupun kelompok studi puisi.

Bahkan aktivitas Pengadilan Puisi versi Lingkar Kreativitas Sastra Yogya telah diarahkan sebagai medium interaksi kreatif antar penyair muda pada penghujung dekade 80-an sampai awal 90-an. Sehingga beberapa nama penyair, semisal: Hamdy Salad, Dorothea Rosa Herliany, Adi Wicaksono, Agus Noor, Abidah El Khalieqi, Mathori A Elwa, Ahmad Syubanuddin Alwi, Otto Sukatno CR, Whani Darmawan, Ulfatin CH, Lephen Purwarahardja, Achid BS, Rina Ratih Sri Sudaryani, Ali D Musrifa, M Nurgani Asyik, Syam Candra Mentik, dll menyemerbak serupa bunga-bunga di taman puisi Yogyakarta.

Sayang memang, aktivitas Pengadilan Puisi yang diselenggarakan oleh Lingkar Kreativitas Sastra Yogya secara mobil dari rumah penyair satu ke rumah penyair lainnya atau dari kampus satu ke kampus lainnya itu hanya berlangsung beberapa tahun. Namun, keberakhiran aktivitas tersebut tidak berarti keberakhiran hayat puisi di Yogyakarta. Secara faktual, Paguyuban Teater Bantul (PTB) yang terbentuk kemudian difungsikan bukan sekadar sebagai wadah aktivitas teater, melainkan pula sebagai media studi penciptaan puisi dan ruang interaksi kreatif antar penyair Bantul dan Yogyakarta.

Di luar dugaan, Suwarno Pragolapati pun turut turun gunung untuk menggairahkan kehidupan sastra di Yogyakarta. Melalui Sanggar Yogya Sastra Pers (SYS), Suwarno mengumpulkan para penyair muda yang berminat menulis karya puisi. Selain itu, melalui dukungan Sumantri Citropati, berbagai event pertunjukan dan diskusi puisi dapat diselenggarakan di Perwatin secara rutin. sehingga Perwatin (awal dekade 90-an) menjadi ruang interaksi kreatif bagi para penyair. Menjadi ajang diskusi puisi sampai pagi. Luar biasa!

Berkat dukungan dari kawan-kawannya, kerja keras Suwarno tidak sia-sia. Terbukti Suwarno mampu membangkitkan kembali proses kreatif Kuswahyo SS Rahardjo yang telah membeku sekian puluh tahun. Kelahiran Muhammad Fuad Riyadi dan Endang Susanti Rustamadji di dunia perpuisian di Yogyakarta pula tidak dapat dilepaskan dari bimbingan Suwarno.

Lagi-lagi sejarah membuktikan bahwa dunia perpuisian di Yogyakarta tidak pernah berakhir. Sekalipun beberapa kelompok pengembang perpuisian di Yogyakarta, seperti; PSK, Lingkar Kreativitas Sastra Yogya, PTB, dan SYS mengakhiri aktivitasnya; Asa Jatmiko dkk yang membentuk Himpunan Sastrawan Muda Indonesia (HISMI) pada paroh dekade 90-an tersebut berupaya menggairahkan kembali dunia perpuisian di Yogyakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline