[caption caption="Sumber: koleksi anggiprahesta.blogspot.com"][/caption]“Sang jukung kelapu-lapu, santukan baruna kroda.
(Perahu terombang-ambing, karena dewa laut murka.)
Nanging Chopin nenten ngugu, kadang ipun ngrusak seni budaya.
(Namun Chopin tiada memahami, kadang bangsanya merusak seni budaya.)”
Barisan kata-kata dalam bahasa Bali tradisional di atas merupakan penggalan salah satu mahakarya Guruh Sukarno Putra, salah satu seniman, pada lagu “Chopin Larung”. Terdapat dalam album Guruh Gipsy (1977) yang memadukan musik modern dengan sentuhan magis gamelan tradisional Bali, album ini terus menerus dianggap sebagai cikal bakal – apa yang kini disebut pengamat – musik indie.
Mengapa ada nama Chopin? Fryderyk Franciszek Chopin (1810-1849) merupakan salah satu komponis Eropa asal Polandia yang begitu tersohor dengan karya-karyanya, bisa disejajarkan dengan Beethoven atau Mozart. Merupakan sebuah ironi ketika salah satu komposisi karya Chopin, “Fantasia Impromptu” berbaur secara elegan dengan suara gamelan Bali dimainkan ditambah lirik yang mengkritik westernisasi secara spesifik.
[caption caption="Kover album 'Guruh Gypsy'. (last.fm)"]
[/caption]
“Chopin Larung” sendiri mengisahkan kegundahan Guruh sebagai pencipta lagu terhadap tergerusnya kebudayaan asli Indonesia oleh kebudayaan luar. Kata westernisasi yang saya gunakan sebelumnya mungkin tidak lagi tepat, karena budaya luar kini tak lagi datang dari barat (west) tapi juga dari wilayah timur (east). Apakah harus ada padanan kata baru lagi?
Harus dicamkan ke dalam benak bahwa ada usaha penggerusan budaya lokal yang dilakukan oleh kita semua secara sadar maupun tidak sadar. Kearifan lokal beserta nilai-nilai humanis yang terkandung di dalamnya megap-megap mengambil nafas karena tenggelam arus kebudayaan luar. Usaha menghargai kebudayaan asli pun juga dirasa menjadi lebih sulit.
Apakah antrian orang yang ingin ke museum untuk melihat peninggalan budaya suku terdahulu sama panjang dengan antrian di bioskop? Apakah jumlah anak-anak yang bermain di wahana bermain modern sama banyak dengan anak-anak yang bermain permainan tradisional di sebuah kompleks perumahan? Apakah suguhan tarian tradisional bisa kita lihat dengan bebas di sebuah acara dengan akses tamu terbatas?
Agaknya kita juga sendiri sadar bahwa bangsa kita selalu membelalakkan mata terhadap segala sesuatu yang datang dari luar. Anggapan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang inferior terhadap kebudayaan luar masih sulit terhapus. Senada dengan ungkapan Edward Said dalam buku mahsyurnya “Orientalism” yang mengatakan bahwa westernisasi menimbulkan dampak yang luar biasa besar bagi kehidupan orang-orang di belahan Timur dunia. Pengguliran budaya asing mengakibatkan orang-orang kemudian bimbang memilih identitas kebudayaan, identitas yang akan selalu melekat pada diri sendiri sebagai hal yang membedakannya dengan orang lain. Dan secara luas, hal yang membedakan sebuah masyarakat dengan masyarakat yang lain (dalam konteks kebudayaan dan nilai-nilai masyarakatnya).
Butuh kekuatan yang luar biasa besar beserta kemauan yang sangat kuat untuk mencoba kembali bersahabat dengan budaya asli. Bukan dengan aksi anti-globalisasi, seperti demonstrasi memboikot produk Amerika Serikat namun dilakukan di atas mobil pabrikan Jepang. Tapi usaha-usaha sederhana dalam menghargainya sudah sangat cukup. Aksi-aksi sederhana dalam menghargai budaya asli akan lebih terasa jika sering dilakukan. Sebab kebudayaan adalah hal turun temurun yang harus dilestarikan sebagai bagian dari identitas manusia.
Kegundahan yang dirasakan Guruh ternyata masih saja menjalar di benak kita hingga masa sekarang. Berbagai bentuk keprihatinan dan usaha untuk membendung penggerusan budaya asli oleh budaya luar bisa dibilang jauh panggang daripada api. Bukannya anti-globalisasi, saya sadar bahwa lambat laun dengan berbagai kemudahan dalam mengakses informasi yang datang dari luar, kita akan agak sulit memahami kebudayaan lokal. Maka untuk memahaminya dibutuhkan sebuah proses yang intensif, dengan bantuan berbagai media. Globalisasi di sisi lain justru menawarkan metode baru yang lebih mudah bagi masyarakat untuk memahami budayanya sendiri. Ini tentu sebuah anomali yang menarik. Tapi yang menjadi pertanyaan: apa sudah ada yang mencoba cara itu?
Ketika teman-teman kuliah berbicara dalam bahasa daerah, di setiap kata demi kata yang mereka utarakan dengan antusias, saya bisa merasakan usaha keras dalam menghargai kebudayaan lokal daerah mereka. Dan suara lembut almarhum Chrisye yang benyanyi pelarungan jenazah Chopin di lautan Bali yang biru membuat saya berpikir kembali mengenai apa yang telah saya lakukan terhadap pelestarian budaya asli daerah asal tercinta.