[caption caption="USA Election 2016 (ropercenter.cornell.edu)"][/caption]
Belakangan ini pemberitaan media cetak atau elektronik mulai dihiasi dengan topik pemilu capres Amerika Serikat. Saat artikel ini ditulis, rakyat AS baru saja melewati Super Tuesday, pemilu pendahuluan yang dilaksanakan di belasan negara bagian. Ini merupakan tahap akhir menuju penetapan pasangan capres dan cawapres dari Demokrat maupun Republik. Dan semuanya akan bermuara pada tanggal 8 November tahun ini, di mana masyarakat AS akan memilih pasangan capres-cawapres yang akan memimpin negara mereka 4 tahun ke depan.
Selain pemberitaan mengenai visi dan misi masing-masing kandidat dari kedua partai, hal yang menarik untuk ditilik adalah kebijakan luar negeri yang akan diterapkan masing-masing kandidat jika terpilih menjadi presiden AS. Sudah menjadi rahasia umum kalau AS yang merupakan salah satu poros kekuatan dunia punya “kewajiban moral” untuk menjaga ketertiban dan kelangsungan perdamaian dunia. Sudah merupakan warna tersendiri jika berbicara mengenai AS dan dinamika internasional adalah sebuah kesatuan yang tak terpisahkan.
PARTAI REPUBLIK
[caption caption="Ted Cruz, Donald Trump, dan Marco Rubio dalam salah satu acara debat capres Partai Republik. (Getty Images, CNN)"] [/caption]
Ada tiga kandidat yang menonjol, yaitu taipan real estate sekaligus milyuner Donald Trump; senator asal Texas, Ted Cruz; dan senator asal Florida, Marco Rubio. Partai Republik sendiri telah dikenal sebagai partai yang konservatif untuk masalah-masalah sosial dan militeris untuk masalah luar negeri. Seolah hal ini terus menjadi ciri khas Partai Republik dari masa ke masa. Sudah barang tentu kita tahu bahwa George Bush yang melibatkan AS dalam Perang Teluk 1991 dan George W. Bush dalam Invasi Irak 2003 adalah sebagian dari kader Partai Republik.
Donald Trump sejak kampanyenya menuju capres Republik telah banyak mengeluarkan pernyataan kontroversial, entah itu menyindir kebijakan yang diambil pemerintahan Presiden Barack Obama, menyindir Partai Demokrat, dan bahkan menyindir sesama kandidat capres Republik. Namun, dari berbagai pernyataan yang dikeluarkannya bisa ditebak ke arah mana kebijakan luar negeri AS jika dia terpilih.
Masih jelas di ingatan kita saat Trump mengeluarkan pernyataan bahwa Meksiko hanya mengirimkan kriminal dan (maaf) pemerkosa, serta kebijakannya jika terpilih sebagai presiden untuk membangun tembok perbatasan sepanjang garis perbatasan AS-Meksiko. Masih teringat juga mengenai kebijakannya untuk menghentikan arus masuk orang-orang Islam ke AS karena didasari meningkatnya ekstremisme dan terorisme di Timur Tengah sehingga menutup akses masuk untuk semua Muslim dirasakan perlu. Ada juga usulnya agar ISIS menggulingkan Presiden Suriah Bashar Al-Asaad dan Rusia kemudian disuruh untuk "menghantam" ISIS sendirian.
Trump dengan segala kebijakan “di luar nalarnya” tentu saja mengundang pro-kontra pendapat apakah dia nanti sungguh-sungguh akan melakukannya jika terpilih. Kebijakan luar negerinya jika ditilik dari berbagai pernyataannya malah membuat AS akan semakin tidak disukai oleh negara-negara Timur Tengah, apalagi akan menjadi risiko sangat besar jika Amerika Serikat malah kehilangan mitra strategis yang berubah menjadi lawan.
Arab Saudi yang merupakan mitra erat AS di Timur Tengah dalam masalah pemberantasan terorisme dan minyak bisa jadi akan meninjau ulang kemitraan bersama. Belum lagi jika berbicara soal Meksiko yang juga merupakan mitra dagang strategis AS mengingat jaraknya yang sangat dekat. Pengamat banyak meragukan kompetensi Trump dalam masalah hubungan luar negeri AS, Jeb Bush pada Oktober tahun lalu bahkan mengatakan bahwa Trump menganggap dirinya masih berada di acara reality show saat berbicara mengenai kebijakan luar negeri.