Lihat ke Halaman Asli

Rasa Kemanusiaan yang Terseret Ombak

Diperbarui: 5 September 2015   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jasad Aylan Al-Kurdi, 3 tahun, saat ditemukan terdampar oleh seorang polisi di pantai kota Bodrum, selatan Turki. (Independent) "][/caption]

Bocah itu, terbujur kaku di pinggir pantai daerah Bodrum, selatan Turki. Tubuhnya basah kuyup oleh air laut. Bisa dilihat kalau tubuhnya telah membengkak, biasanya karena menelan banyak air saat terseret ombak. Mata siapa yang tak miris melihat pemandangan ini, melihat anak kecil berumur 3 tahun harus tewas tenggelam dalam usaha untuk menghindari konflik di tanah kelahirannnya. Jasad Aylan Al-Kurdi, nama anak itu, menggegerkan Rabu pagi (2/9) yang terlihat biasa dengan sentakan terhadap apa yang hilang dalam diri manusia: rasa kemanusiaan. Bahkan seorang polisi yang bertugas untuk mengangkat jasad Aylan pun tak bisa menyembunyikan rasa marah, sedih, bercampur kalut dari wajahnya. Dari penyelidikan didapatkan fakta bahwa Aylan ternyata tak sendiri. Pada malam sebelumnya ada dua buah kapal yang membawa 23 orang tenggelam dalam perjalanan menuju Pulau Kos di Yunani (melintasi Laut Aegea yang terbilang aman bila dibandingkan jalur laut Italia-Aljazair), ada 12 orang yang tewas. Termasuk kakak Aylan, Ghalib Al-Kurdi (5 tahun), dan ibunya Rihan Al-Kurdi (35 tahun). Meninggalkan sang ayah, Abdullah Al-Kurdi, yang telah tiba di Eropa lebih dahulu, dalam perasaan kehilangan yang teramat sangat. Mimpi untuk kembali berkumpul dengan keluarga tercinta harus dikubur dalam-dalam, berkumpul di tempat dimana peluru dan bom sama sekali tidak beterbangan memburu nyawa manusia tak bersalah.

Aylan hanya sebagian dari ratusan ribu rakyat Suriah yang terpaksa angkat kaki dari tanah kelahiran karena menderita oleh konflik berkepanjangan. Perang, perang, dan perang. Hal yang terus berkecamuk di tanah para Rasul ini membuat Suriah menjadi sebuah negara tanpa aturan, dan rasa was-was terus mengintai mereka yang masih tinggal di Suriah. Sejak tahun 2011, UNHCR telah mencatat lebih dari empat juta pengungsi Suriah melakukan eksodus besar-besaran dari negeri tersebut, dan sebagian besarnya berada dalam status quo: menunggu pendaftaran di PBB. Mereka yang menunggu namanya dimasukkan oleh PBB ke daftar pengungsi tersebar di Baghdad, Mosul, Erbil (semuanya di Irak), Beirut dan Saadnayel (Lebanon), Adana, Gaziantep, dan Ceylanpinar (semuanya di Turki), Amman, Zaatri, dan Irbid (semuanya di Yordania). Para pengungsi ini tinggal di kamp-kamp yang bisa dibilang tidak layak untuk ditinggali, tidur beralas tikar seadanya dengan tenda bantuan UNHCR berukuran kecil yang biasanya ditinggali oleh 9 hingga 12 orang (seringkali para pengungsi mengeluhkan suhu tenda yang panas namun memilih jalan alternatif: memindahkan karpet ke luar tenda dan tidur disitu). Belum lagi dengan persediaan makanan dan sanitasi yang terus menjadi masalah, apalagi dengan bertambahnya penghuni dari hari ke hari. Namun ini semua mereka syukuri sebab di kamp jauh lebih baik daripada harus bertaruh nyawa di jalanan kota Suriah atau di kapal sederhana kelebihan muatan yang membawa pengungsi.

[caption caption="Suasana salah satu kamp pengungsi konflik Suriah di Turki. (UNHCR)"]

[/caption]

Pengungsi yang bersabar akan dengan senang hati menerima keadaan pas-pasan di kamp pengungsian, tapi yang sudah tidak sabaran dengan status quo memilih cara nekat: diselundupkan ke negara terdekat. Penelusuran media Yunani mengatakan bahwa biaya yang dikeluarkan para pengungsi kepada penyelundup bisa mencapai €1.000 (kurang lebih Rp. 16.000.000), sangat mahal untuk ukuran pengungsi yang hanya mempunyai satu jenis harta: apa yang mereka bisa pikul ke kamp pengungsian semampu mereka. Biasanya uang untuk membayar penyelundup diberikan dari keluarga mereka yang telah lebih dulu tiba dengan selamat di negara tujuan. Uang yang sangat banyak tentu saja harus menjamin kelancaran tibanya mereka di negara tujuan dengan selamat, tapi seringkali kapal yang mereka tumpangi mengalami kerusakan dan tenggelam dalam perjalanan. UNHCR mencatat sampai bulan lalu telah ada 2.500 pengungsi yang tewas tenggelam di Laut Mediterrania dalam usaha menuju benua Eropa, dan diperkirakan akan terus bertambah. Sebuah angka yang membuat miris hati, dan menurut saya perjuangan para pengungsi menyeberangi Laut Aegea dan Laut Mediterrania sama kerasnya dengan perjuangan tentara sekutu saat berusaha mencapai Pantai Normandia.

[caption caption="Seorang ayah memeluk erat anak-anaknya sembari menitikkan air mata bahagia karena telah tiba dengan selamat di Pulau Kos, Yunani, pada 15 Agustus lalu. (CNN)"]

[/caption]

UNHCR mungkin punya hitungan akurat dan punya fasilitas yang cukup untuk menampung para pengungsi konflik Suriah, tapi itu belum termasuk pengungsi yang tersebar di berbagai negara Timur Tengah yang tak tercatat. Negara-negara seperti Yaman, Mesir, Aljazair, dan bahkan Palestina menerima para pengungsi Suriah dengan tangan terbuka sembari berusaha mengadakan kontak dengan pihak UNHCR untuk mencari jalan keluar untuk mereka. Tapi, sikap berbeda justru dilakukan oleh negara-negara kaya seperti Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Bahrain. Mereka sama sekali tidak ingin membuka negara mereka untuk para pengungsi Suriah, hal itu bisa dilihat dari kebijakan biaya mahal bagi para para pengungsi yang ingin melamar visa atau izin masuk. Selain itu ada peraturan tak tertulis yang membatasi pengungsi Suriah untuk mendapat visa. Sudah biayanya mahal, dibatasi pula. Hal ini tentu menjadi ironis sebab negara-negara Teluk ini adalah negara yang punya kekayaan melimpah, sehingga tentu tak menjadi masalah jika mereka rela menyisihkan sedikit tempat untuk mereka yang kurang beruntung. Tapi, kenyataannya berbalik. Sikap yang mereka ambil tentu saja bertentangan dengan prinsip kemanusiaan, dan menandakan ada yang tidak beres dalam hati para Paduka Yang Mulia dan pangeran-pangeran terhormat tersebut. Harusnya mereka malu dengan rakyat Jalur Gaza yang hidup dalam banyak keterbatasan masih mampu mempersilahkan kurang lebih 1.500 pengungsi Suriah untuk masuk, berbagi tempat tinggal atas nama kemanusiaan. Sebuah postingan pertanyaan di laman Facebook “The Syrian Community in Denmark” mungkin bisa menggambarkan situasi ironis ini: “Bagaimana mereka kabur dari wilayah saudara-saudara kita sesama Muslim, yang harusnya bertanggung jawab, ketimbang ke negara-negara yang mereka sebut sebagai ‘negara kafir’?”

[caption caption="Dua orang tentara sedang mengawasi proses masuknya ratusan pengungsi Suriah ke Turki. (IB Times)"]

[/caption]

Hal yang sama terjadi di Eropa. Perdana Menteri Inggris, David Cameron, pada hari Minggu lalu (30/8) mengatakan bahwa Inggris sudah bersedia banyak “merepotkan diri untuk masalah imigran” (mereka lebih suka menggunakan kata “imigran” daripada “pengungsi”), dan selain itu dikatakan juga bahwa dia tak berpikir bahwa menerima lebih banyak “imigran” adalah jawaban yang mudah. Angka 144 pengungsi yang diterima oleh Inggris dirasakan sudah banyak. Yang membuat miris lagi, salah satu jurnalis surat kabar Sun, Katie Hopkins, menyamakan para pengungsi yang menyeberangi Laut Mediterrania dengan (maaf) sekumpulan kecoa. Di Serbia, usaha pemerintah menerima pengungsi terhalang oleh suara-suara fraksi dan organisasi sayap kanan yang merasa akan tersisih oleh kehadiran mereka. Di Budapest, Hungaria, tensi antara para pengungsi Suriah dan pemerintah setempat meninggi setelah diputuskan akan membatasi jumlah pengungsi yang akan menuju Jerman. Masalah tersebut mungkin disebabkan oleh agenda politik tertentu, tapi beberapa negara Eropa masih menyambut para pengungsi dengan baik. Jerman tentu saja menjadi tujuan para pengungsi yang masuk akal, apalagi akses tak terbatas menuju negeri itu membuat Jerman menjadi tanah yang dituju. Tercatat sudah ada 905 orang yang resmi menetap di Jerman, dengan target 800 ribu orang akan ditampung di kamp sementara. Selain itu ada beberapa negara yang menerima pengungsi melebihi kuota yang disyaratkan oleh Uni Eropa seperti Swedia, Hungaria, Malta, dan Swiss. Apresiasi tinggi harus dilayangkan kepada Yunani, negara yang (seperti kita tahu) tengah repot dengan masalah ekonomi yang pelik luar biasa masih rela membuka pintu untuk kurang lebih 200 ribu pengungsi. Lagi-lagi atas nama kemanusiaan. Yang terbesar? Tentu saja Turki, sebagai negara aman yang terletak berbatasan dengan Suriah. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, dalam pidato pembukaan forum bisnis G20 di Ankara, Turki (3/9) dengan lantang mengatakan bahwa negaranya akan terus menerima para pengungsi dengan tangan terbuka. “Kami tidak pernah mengeluh. Kami telah mengeluarkan bantuan US$6,5 miliar untuk melakukan yang terbaik sampai mereka hidup sejahtera,” imbuhnya. Tercatat saat ini Turki telah menampung lebih dari dua juta pengungsi, dan masih akan terus bertambah. Erdogan juga mengkritik Barat yang tidak sensitif dalam menyikapi konflik di Timur Tengah, sehingga berujung pada eksodus besar-besaran yang tak jarang menimbulkan korban jiwa. “Jasad anak kecil kemarin ditemukan meninggal dan terdampar, kemanusiaan harus bertanggung jawab,” lanjut Erdogan.

Kurang lebih beberapa jam setelah foto jasad Aylan tersebar di berbagai media, muncullah tagar #KiyiyaVuranInsanlik (#HumanityWashedAshore, kemanusiaan terseret ombak) sebagai bentuk keprihatinan atas masalah pengungsi Suriah. Foto tersebut menyentak hati yang melihatnya, rasa getir bercampur miris menyelimuti perasaan para netizen yang melihatnya. Klub sepakbola Jerman, Schalke 04, kemudian mengeluarkan video yang mengekpresikan solidaritas kepada para pengungsi dengan judul “#StandUpIfYouAreHuman”. Kelompok supporter fanatik Glasgow Celtic, Green Brigade, mengibarkan spanduk “Refugees Welcome” di Stadion Celtic Park. Sebelumnya, klub sepakbola Jerman, St. Pauli dan Borussia Dortmund, telah melakukan hal yang sama beberapa bulan yang lalu. Semuanya dilakukan atas dasar solidaritas dan menunjukkan rasa kemanusiaan. Walau pun terlihat tak seberapa, dorongan moril dan dukungan yang mengalir membuat para pengungsi merasa tak sendirian.

[caption caption="Kelompok supporter klub Borussia Dortmund mengibarkan spanduk "Refugees Welcome" sebagai bentuk dukungan terhadap komitmen pemerintah Jerman untuk menampung pengungsi Suriah. (Irish Examiner)"]

[/caption]
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline