Lihat ke Halaman Asli

Ulasan Buku "Palestine": Ketika Gambar Mengemukakan Banyak Fakta

Diperbarui: 16 Maret 2016   21:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Buku ini adalah sebuah karya politis dan estetis dengan orisinalitas luar biasa. Tidak seperti yang lainnya: dalam perdebatan panjang, rumit, dan terdistorsi yang telah menyibukkan warga Palestina, Israel, dan pendukungnya masing-masing… Dengan pengecualian, satu atau dua novelis dan penyair, tak ada seorang pun yang pernah menggambarkan keadaan mengerikan ini lebih baik daripada Joe Sacco.” – Edward Said

 

Saya membeli buku ini (yang versi Indonesia-nya diterbitkan oleh Dar! Mizan dengan judul “Palestina Membara: Duka Orang-Orang Terusir”) saat sebuah toko buku yang dikelola oleh sebuah organisasi pergerakan Islam mengadakan bazaar buku-buku diskon. Terus terang saja, kata “diskon” adalah hal yang menarik hati saya sebagai mahasiswa peminat sejarah dengan keuangan bersiklus normal setiap bulannya. Apalagi sebelumnya saya telah membaca karya Joe Sacco yang lain (“Safe Area Gorazde”, juga diterbitkan Dar! Mizan), membuat saya bisa mengetahui kapasitas wartawan-kartunis keturunan Malta ini. Singkat cerita, saya menyelesaikan membaca buku cergam ini dalam tempo tiga hari, dan mendapati bahwa “Palestine” adalah sebuah buku dengan penggambaran sejujur-jujurnya mengenai keadaan masyarakat Palestina, di Gaza maupun Tepi Barat.

Joe Sacco menghabiskan waktu di Palestina pada medio musim dingin 1991-1992 sebagai bagian dari tugas jurnalistiknya. Saat itu sedang diapungkan kemungkinan pembicaraan damai antara pihak Palestina dan Israel. Dibuka dengan penggambaran kesemrawutan kota Kairo, narasi gambar Sacco kemudian beralih kepada hari-hari pertamanya menginjakkan kaki di daerah yang selalu dilanda konflik ini. Mewawancarai orang-orang Palestina dan Israel, meliput peristiwa-peristiwa yang terjadi saat itu, dan berbagai macam aktivitas wartawan pada umumnya.

[caption id="" align="aligncenter" width="350" caption="Salah satu bagian buku. (markbraverman.org)"]

Salah satu bagian buku. (markbraverman.org)

[/caption]

Namun, lambat laun yang diceritakan menjadi semakin dramatis dan mengharukan Apalagi yang menuturkan kisah pengalamannya adalah warga Palestina sendiri. Mulai dari kebrutalan aparat keamanan terhadap semua orang, tindakan semena-mena tentara, dan perlakuan pemukim Yahudi terhadap warga Palestina yang notabene adalah penduduk asli. Mulai dari cerita keluarga Kristen Ortodoks yang dipaksa untuk memotong pohon-pohon zaitun yang telah lama dipelihara dan menjadi sumber penghidupannya, cerita perlakuan brutal dan gaya interogasi yang sangat ofensif terhadap tahanan warga Palestina yang diduga “ekstrimis” (dan seringkali tuduhan tersebut mengada-ada), sulitnya warga Palestina mendapatkan pekerjaan, cerita bagaimana gerakan Intifadhah pertama dimulai, dan berbagai cerita pilu warga Palestina yang lain.

Di suatu bagian diceritakan mengenai seorang ibu di Gaza yang kedua anaknya dan suaminya meninggal karena kesulitan-kesulitan yang diciptakan Israel. Salah satu anaknya tewas ditembak oleh tentara Israel yang (tanpa suatu penyebab apapun) menyerbu lingkungan tempatnya tinggal, anak tersebut gagal diselamatkan karena sulitnya birokrasi yang diterapkan Israel. Di bagian lain juga diceritakan pengalaman Firas, pemuda berusia 15 tahun yang saat di rumah sakit dirawat karena luka tembak didatangi oleh tentara dan Shin-Bet (intel Israel) kemudian dipukuli dan ditendang membabi buta. Para perawat dan dokter yang mencoba melindunginya juga mendapat perlakuan yang sama.

 

Namun bukannya tanpa netralitas (hal yang katanya harus ditaati para wartawan), Joe Sacco tetap menyelipkan argumen dari warga Israel sendiri. Di salah satu bagian bisa ditangkap kebosanan warga Israel terhadap berbagai konflik yang dirasa tak berkesudahan penentangannya terhadap ketergantungan Israel terhadap Amerika Serikat, dan menentang perampasan wilayah pemuikman Palestina. Membuat kita berpikir lagi untuk apa dan untuk siapa konflik tak berkesudahan ini. Di bagian akhir buku ada debat pendapat tentang kemungkinan solusi paling tepat untuk Palestina-Israel, lalu warga Israel mengakhiri dengan pertanyaan “Apakah dua bangsa ini bisa hidup berdampingan dan sederajat?”.

Buku yang mendapat penghargaan “American Book Award” tahun 1996 ini sanggup menjabarkan fakta-fakta yang ada di Palestina, fakta-fakta yang mungkin kita tidak pernah lihat di televisi atau pun kita baca di surat kabar mengenai perlakuan tentara Israel terhadap warga Palestina dan tahanan politik (entah itu yang tuduhannya mengada-ada atau benar). Tak ada fakta yang disembunyikan, tak berusaha “mempercantik” apa yang dilihatnya, dan (kata Goenawan Mohammad dalam kata pengantar) seakan-akan bergerak. Guratan pensil Joe Sacco sanggup membuat kita membayangkan apa yang terjadi, dan berbagai pengalamannya saat meliput dan pengalaman orang-orang yang diwawancarainya dituangkan kedalam gambar-gambar penuh ketegasan. Mengkonstruksikan hal-hal tersebut untuk dibayangkan oleh pembaca.

[caption id="" align="aligncenter" width="452" caption="Penggambaran yang frontal, khas Joe Sacco. (Al Jazeera, Fantagraphics)"]

Penggambaran yang frontal, khas Joe Sacco. (Al Jazeera, Fantagraphics)

[/caption]

Saya pribadi menangkap kemarahan dalam guratan pensil Joe Sacco. Kemarahan yang coba disembunyikannya dalam gambar-gambar dan kotak dialog. Kemarahan yang turut dirasakannya setelah mendengar berbagai pengalaman memilukan para warga pendudukan. Kemarahan kepada realitas hidup yang ditemuinya. Namun hal itu saya anggap normal sebagai bagian dari diri manusia untuk berempati dan bersimpati kepada hal-hal yang ditemuinya. Apa yang dibuat Joe Sacco di buku ini (kata Edward Said juga dalam bagian pengantar) secara terbuka menyampaikan banyak informasi, konteks kemanusiaan, dan peristiwa-peristiwa sejarah yang telah mengecilkan rakyat Palestina sampai pada kondisinya sekarang yang begitu tak berdaya.

Secara keseluruhan, buku ini adalah sebuah karya Joe Sacco yang terbaik (sejauh ini) mengenai konflik Palestina yang pembahasannya bagi sebagian orang sangat berhati-hati dikemukakan argumennya. Dan disaat sebagian orang menyusun argumennya dengan sangat sistematis dari berbagai sumber literatur tentang konflik Palestina, Joe Sacco malah menggambar apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya saat berkunjung ke sana bahkan menyelipkan humor yang bisa menyunggingkan senyum. Sebuah buku (atau komik) mengenai konflik Palestina yang sanggup membuat Anda terharu, geram, dan tertawa saat membacanya.

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline