Lihat ke Halaman Asli

Industri itu Bernama Hipnosis

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Hipnotism, Hipnosis dan Hipnoterapi sekarang sudah jadi sebuah industri bernilai ratusan juta tiap bulannya.
Dengan maraknya pertunjukan hipnotisme di layar kaca, masyarakat terlihat semakin meminati hipnotisme, semakin ingin tahu, ingin belajar hipnotisme. Hal ini sangat wajar, karena masyarakat Indonesia ini sudah lelah dengan kondisi saat ini, dan hipnotisme bisa dianggap sebagai jalan keluar yang super cepat dari masalah yang dihadapi.
Situasi masyarakat yang semacam ini juga sangat cepat dicermati oleh orang2 yang bisa melakukan hipnotisme.
Ratusa orang yang mengaku dapat mengajarkan hipnotisme bermunculan. Pilihan training dari yang Rp. 500 ribu sampai 50 juta juga ada.
Pelatihan hipnotisme mulai dari stage hypnosis sampai hypnotherapy beserta semua turunannya bermunculan.
Stage hypnosis yang elegan pun dibuat apa adanya, hipnoterapi yang menurut saya sebenarnya tidak mudah pun dibuat mudah dan murah. 
Di sini prinsip ekonomi mulai bekerja, hipnotisme sudah menjadi sebuah industri. Sebuah industri yan beresiko tinggi. Kenapa saya katakan beresiko tinggi? Saya yakin pembaca sudah tahu jawabannya, yaitu karena hipnotisme bermain di ranah pikiran bawah sadar yang sebenarnya dijaga sangat kuat oleh sang critical factor.
Menembus critical factor, anak smp juga bisa, tapi apakah seorang anak smp memahami benar cara kerja pikiran bawah sadar? Resiko apa yang terjadi jika saran yang diberikan ternyata salah? 
Hebatnya lagi, sekarang ini kecenderungan bahwa syarat bahwa hypnotisme hanya bisa dilakukan dengan kerja sama operator dan subjek sudah berubah.
Sang operator merasa dirinya bak superman atau superparanormal, padahal baru bisa melakukan satu kali induksi saja. Melihat subjek trance saja merasa sudah luar biasa. 
Saat situasi ini berlanjut, maka pikiran manusiawi akan kebutuhan akan uang mulai timbul. Biasanya dimulai dengan iseng2 membuat "pelatihan bikin orang trance" di antara teman2nya, dibayar dengan nasi goreng pun mau, lumayan kan, apalagi nasi goreng spesial.
Youtube sudah tentu jadi bahan pembelajaran selanjutnya, karena membaca ebook juga bukan hal yang mudah.
Instruktur dadakan juga mulai bermunculan, bahkan say pernah bertemu dengan seorang CI hipnoterapi yang baru menangani 5 klien, dan semuanya cuma gangguan yang ringan2 saja.
Bayangkan jika CI itu kebetulan dapat student seorang konselor atau sarjana psikologi, bisa bisa hancur dunia persilatan, dan ini akan sangat memalukan, yang pada akhirnya akan muncul "gap" yang semakin lebar antara psikolog, psikiater, dan hypnotherapist.
Kreatifitas orang Indonesia ternyata juga sangat tinggi, jika dianggap stage hypnosis dan hypnotherapy, maka istilah2 aneh mulai muncul, Hypnoselling, Hypnoparenting, Hypnolove, dan Hypno2 lainnya. Yang luar biasa, istilah Hypnomagic juga muncul, kenapa tidak sekalian Hypnopelet dan Hypnosantet saja sekalian, pasti akan jadi bahan jualan yang laris.   
Hal ini sebenarnya sudah lama terjadi, terutama di Amerika Serikat. Hypnotherapist yang bukan berasal dari psikolog atau psikiater, mereka sebut dengan "lay hypnotherapist". Atau secara umum berarti therapist hypnosis yang tidak punya latar belakang psikologi atau ilmu jiwa.
Jika menurut acuan di Amerika, saya juga seorang "lay hypnotherapist" hanya saja karena saya mendalami criminology yang banyak bersentuhan dengan psikologi, human behavior, dan sosiologi, maka gak terlalu bodohlah. Disamping saya mencoba terus mengupdate ilmu psikologi, psikoterapi dan ilmu lain yang menunjang profesi saya. Teknis dan bla bla bla hypnotherapy malah sudah tidak terlalu menarik lagi bagi saya.
Semoga tulisan ringan ini dapat membuka para penggiat hipnosis yang baru terjun di alam trance ini. Menjadi stage hypnosis, hypnotherapist memang bagus jika ditekuni dengan benar, tentu diawali dengan mengikuti training yang benar, jangan tergiur dengan training yang murah, murah itu sebabnya hanya satu: sang instrukur takut dengan tanggung jawab moralnya saja, training murah otomatis tanggung jawabnya juga kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline