Lihat ke Halaman Asli

Achmad Anwar Sanusi

Anak petani desa

Menjadi Guru: Sebuah Memoar

Diperbarui: 26 November 2021   20:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat Menjadi Guru SD (Dok. Pribadi)

"Sebaik-baik belajar adalah dengan mengajar." - Ustadz Najwani, seorang guru.

Merasakan sebenarnya-benarnya kehadiran guru adalah ketika saya duduk di bangku SMP. Saat dimana kasih sayang layaknya seorang ibu sendiri saya terima dari guru-guru ketika itu. Kenapa tidak SD? Dugaan saya, pola pikir saat masih di sekolah dasar mungkin belum paham mengenai kehadiran dan arti seorang guru. 

Saat itu saya  belum sadar dan mengerti bahwa yang mengajarkan huruf, angka, membaca, menulis, membuat garis lurus, membuat lingkaran, bahkan memegang pensil dan pulpen yang benar dengan sabarnya, setelah orang tua, adalah guru SD. Setelah beranjak dewasa -dan memang sudah seharusnya, barulah saya tersadarkan akan hal itu. 

Saat duduk di bangku SMA, pengalaman yang hampir sama dengan masa SMP terulang. Perhatian yang datang dari layaknya seorang ayah, saya rasakan pada saat itu. Alasan pribadi yang begitu kuat dan juga karena lingkungan di SMA yang berasrama menambah kuat kehadiran perasaan tersebut dalam diri saya.

Pengalaman semenjak SD hingga SMA tersebut memberikan pengertian pribadi bahwa sesungguhnya guru bagi saya bukanlah orang tua kedua, melainkan mereka saya sejajarkan dengan orang tua pertama. Bedanya mungkin orang tua yang satu ini tak mengandung dan merawat semenjak kecil.

Di masa perkuliahan, keterikatan saya terhadap guru tak saya rasakan. Mungkin itu salah satu alasan mengapa studi saya tertunda cukup lama saat itu. Memang adakah hubungan diantara keduanya? Saya tak tahu persis, tapi jika merujuk pada nasihat Imam Syafi'i tentang 6 perkara untuk mendapatkan ilmu, sepertinya iya.

Lahir dan besar di keluarga petani dan pedagang, tak terpikirkan oleh saya untuk menjadi seorang guru. Ditambah lagi pada satu waktu, pernah ada seseorang yang memberikan sebuah nasihat, "kalau kamu mau kaya, jangan jadi guru, jadilah pengusaha." Dan kalimat itu saya dapatkan dari 3 orang guru berbeda, dalam waktu yang berbeda, dan pada jenjang yang berbeda pula.

Saya sepenuhnya yakin dan sadar bahwa menjadi guru memang sulit menghantarkan saya pada keberlimpahan materi. Namun karena sering berada di tengah-tengah guru-guru yang hebat dan penuh dedikasi, membuat saya memiliki keyakinan bahwa menjadi kaya pahala ternyata lebih menggiurkan daripada kaya harta. Alhasil beberapa bulan setelah lulus SMA, saat itu ketika saya dihadapakan pada beberapa pilihan, saya memilih menjalani sebuah tahapan hidup dengan mengambil peran sebagai seorang guru.

Mengajar beberapa mata pelajaran berbeda di sebuah sekolah swasta maupun negeri: Mulai dari eksak, noneksak, agama hingga bahasa, dalam kurun waktu beberapa tahun membuat saya belajar banyak hal. Mulai dari pengetahuan dari tiap disiplin ilmu yang berbeda, hingga metode belajar yang tidak itu-itu saja. Menjadi guru SMA, SMP, SD, di lembaga bimbingan belajar dan private pribadi merupakan salah satu potongan mozaik dalam hidup yang pernah saya jalani selama 10 tahun ke belakang.

Melihat diri saya dari sisi lain, bisa dikatakan saya termasuk ke dalam golongan guru di Indonesia yang tak memiliki kualifikasi mengajar secara profesional. Saya yakin itu. Karena tak ada dokumen negara yang berkaitan dengan bidang pendidikan yang saya miliki selain NUPTK dan nama dalam Dapodik. Namun, setiap tanggapan positif dari murid-murid yang pernah belajar bersama saya selalu menjadi penghibur dari sisi lain itu. Maka bisa jadi di mata para siswa yang saya ajar mungkin saya bisa dianggap berhasil, tapi di mata Mas Mendikbud, bisa saja tidak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline