Lihat ke Halaman Asli

Achi Hartoyo

https://achihartoyo.com/

Secuil Kenangan Bersama Nenek Buyut

Diperbarui: 3 Oktober 2021   20:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nenek Uyut (panah merah) | Dokpri

Dulu, saat saya masih duduk di bangku sekolah taman kanak-kanak (TK) sampai dengan kelas lima SD, saya cukup akrab dengan nenek buyut sewaktu tinggal di Ngawi. Kita sekeluarga biasa memanggilnya Uyut. Nama aslinya Ngatinah.

Uyut saya ini suka mendongeng dan sering menuturkan cerita tentang susahnya hidup di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Uyut sekeluarga harus berpindah-pindah tempat ke sana-sini untuk menyelamatkan diri dari kejaran penjajah Belanda. Maklum, kakek buyut dan kakek kakung saya seorang veteran.

Selain menuturkan pengalamannya hidup di era penjajahan, beliau juga suka mendongeng tentang legenda rakyat seperti Ande Ande Lumut & Klething Kuning, legenda ular Baru Klinting muasal Rawa Pening, cerita tentang siluman air bernama Onggo Inggi yang sering meminta korban anak-anak yang suka mandi di sungai, legenda Jaka Tarub yang mengambil selendang bidadari yang sering mandi di air terjun saat bulan purnama, dan cerita-cerita rakyat lainnya.

Setiap kali Uyut mendongeng, saya selalu menyimaknya takjub. Meski saat itu usianya sudah sangat sepuh, tetapi ingatannya akan dongeng rakyat yang diperoleh dari nenek Canggah saya (orangtua Uyut) masih bisa dituturkan dengan jelas ke saya, buyutnya.

Beliau tidak pernah mengenyam dunia pendidikan. Maklum, hidup pada masa penjajahan Belanda-Jepang masih sangat susah. Saat itu, masih jarang orang pribumi yang bisa mengenyam pendidikan. 

Apalagi Uyut saya perempuan. Kesetaraan untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki belum ada. Masih bisa makan saja sudah syukur Alhamdulillah.

Suatu ketika, saat saya pulang sekolah, Uyut mengajak saya makan siang dengan menu jamur bakar. Inilah kali pertama saya menikmati kuliner jamur yang dimasak Uyut. Rasanya sangat nikmat. 

Jamur yang diramban dari halaman belakang rumah, entah apa jenisnya saya lupa, beliau bungkus dengan daun pisang seperti membungkus botok.  

Jamur tersebut diberi kuah dan bumbu rempah-rempah, kemudian dipanggang di atas wajan tanah liat di atas anglo (tungku tanah liat).

Aroma wangi daun pisang yang terpanggang tersebut masih terekam kuat di ingatan saya. Sungguh rasanya benar-benar enak dan tak bisa dilupakan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline