"Ingkon sada do songon dai ni aek, unang mardua songon dai ni tuak"
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, kira-kira begitulah padanannya dalam Bahasa Indonesia makna dari peribahasa Batak di atas.
...
Matahari bersinar penuh selama musim kemarau Bulan September. Saya bangun pagi dan membayangkan diri ini tengah berada di Pulau Swrnadwipa bagian utara. Dari kejauhan, Danau Toba tampak gagah membentang melintasi delapan kabupaten di Sumatera Utara.
Jika menatapnya, serasa danau vulkanik terbesar di Asia Tenggara ini seolah mengajak kita untuk menjelajahi dan sejenak melupakan kepenatan hidup. Destinasi super prioritas (DSP) Toba mampu membawa kita terbang ke dunia yang hilang. Pemandangan indah ini banyak menyampaikan cerita bahwa danau ini berasal dari masa prasejarah.
Berada di atas kaldera gunung Supervulcano, Danau Toba memiliki daratan atau pulau di bagian tengahnya: Samosir. Pulau ini menyembul indah bagaikan permata di tengah samudra. Jika dilihat dari dekat, bebatuan dan tanah di pulau ini menyimpan sejuta sejarah peradaban pada masa lampau. Danau Toba yang unik di masa sekarang, kemungkinan juga unik pada masanya.
Selain air danaunya yang berwarna biru, DSP Toba menyimpan beragam daya tarik yang susah untuk dilupakan. Tak lengkap rasanya jika mengunjungi DSP Toba tanpa bermalam di Pulau Samosir dan desa-desa adat di sekitarnya. Rumah-rumah adat "Jabu" atau "Bolon" berjajar indah. Penghuninya yang ramah, siap menyambut dan menjamu setiap tamu yang datang. Bagi masyarakat Batak Toba, Rumah Bolon yang dulunya merupakan tempat tinggal raja-raja Batak, adalah sebuah identitas sosial seperti layaknya Rumah Joglo bagi masyarakat Jawa.
Tak jauh dari Rumah Jabu, sebuah lumbung beras yang disebut "Sopo", dibangun untuk menjadi tempat simpanan bahan pangan bagi keluarga. Ukurannya tak jauh beda dengan ukuran Rumah Jabu atau Bolon. Jika lahannya masih tersisa, lumbung beras ini bisa menjadi ruang tambahan darurat saat dibutuhkan.
Masyarakat setempat juga membangun ruang aula untuk pertemuan komunal yang lazim disebut "Bale". Bangunan rumah dihiasi dengan lukisan bunga dan dedaunan yang tampak apik dengan perpaduan warna yang mencolok: hitam, merah, dan putih tampak kontras dengan rimbunnya dedaunan yang menghijau.
Bagi masyarakat Batak Toba, warna-warna ini mewakili tiga kosmos. Warna merah menyimbolkan dunia manusia, warna putih yang terbuat dari kapur menjadi perlambang roh yang baik, sementara untuk warna hitam yang berasal dari arang menjadi simbol bagi kejahatan.