Wahai Puanku,
Seribu juta tahun lalu, nun jauh di lauhul mahfuz, Tuhan melukiskan takdir kita.
Seperti daun rapuh yang jatuh, takkan pernah lepas dari catatan-Nya.
Wahai Puanku, bumi yang kita pijak saat ini, menyatukan kita dalam takdir-Nya. Takdir yang entah di mana ujungnya.
Puanku, kutemukan gelora api dalam gelapmu. Tumpukan bara yang tersulut nestapa.
Dalam papa doaku, gelapnya pun sama. Namun, minyak dan air takkan pernah bisa bersama.
Kunyalakan suluh-suluh yang enggan membara, sungguh aku pun tak bisa berdusta.
Puanku, seringkali aku mencumbuimu dalam doa. Pun jua dalam tangis dan tawa. Namun, aku tak hendak memadamkan unggun yang menyala.
Puanku, tahukah engkau arti cinta? Seribu lembar kertas takkan cukup menuliskannya.
Kamarku sepi, namun, gila karenamu semakin ramai menemani. Malam ini, seperti malam-malam yang lalu, selalu kusujudkan rindu.
Puanku, minyak dan air takkan pernah bersatu, namun bisa bersisian setiap waktu.
Puanku, pernahkah kau bertanya? Mengapa takdir mendekatkan sekaligus menjauhkan? Jagad pramudita seringkali bercerita, bagaskara dan sasadara yang takkan pernah bersama, hanya bersisian waktu, kisah anak cucu Adam selalu berulang, takkan pernah padam. Hingga sangkakala diteriakkan waktu.
Dalam gema doa aku bercerita, semoga kita tetap bersama. Aku tak ingin suluh rindu kita penuh nafsu, biarkan Tuhan bercerita dengan takdir-Nya.
Puanku, api yang membara sulit padam. Biarkan ia dipeluk doa yang diam. Biarkan dia menjadi hangat untuk kita berdiang.
Tatkala senja kulabuhkan doa, kusauhkan dera rindu yang enggan reda.
Puanku, penaku mungkin takkan pernah habis tintanya untuk menyapamu. Dalam diam, dalam rindu, aku selalu melukiskanmu.