Lihat ke Halaman Asli

‘Pengagum’ Rahasia

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“A gentleman will walk but never run” ( Sting )

Carousel adalah sebuah drama musical yang dipentaskan pada tahun 1945 oleh Oscar Hammerstein sebagai penulis lirik lagu dan Richard Rodgers sebagai sutradara. Berkisah tentang sepasang kekasih Billy Bigelow dan Julie Jordan yang sama-sama berasal dari kelas pekerja rendah. Suatu saat Julie dinyatakan hamil dan Billy yang saat itu berada dalam keterdesakan keuangan tergoda melakukan perampokan untuk mendapatkan uang dengan cepat untuk istri dan calon anaknya. Namun, apa daya, perampokan itu gagal dan Billy nekat membunuh dirinya sendiri untuk menghindari penangkapan pihak berwajib. Kenyataan itu membuat Julie sangat terpukul. Cerita yang merupakan awal dari babak kedua drama musikal itu dimulai dengan penghiburan untuk Julie saat sepupunya, Nettie Fowler, menyanyikan sebuah lagu yang konon akan melegenda dan masih dinyanyikan jutaan manusia di seluruh dunia hingga saat ini , You’ll Never Walk Alone.

Dalam kenyataannya kita memang tak pernah berjalan sendirian. Bukan, bukan bayangan yang setia menemani kita, karena ia akan menghilang bersama tenggelamnya matahari. Bukan pula kekasih, orang tua,anak-anak, teman sepermainan maupun sanak family, karena akan tiba saatnya salah satu diantara kita atau mereka akan pergi mendahului. Bukan pula Tuhan, karena kita juga tidak akan pernah tahu kapan Dia datang atau kapan Dia pulang. Perlu Anda ketahui bahwa tulisan ini bukan bermaksud menggurui, memfilosofi maupun memotivasi. Melainkan hanya bahasan terhadap sebuah kabar yang tersebar melalui internet akhir-akhir ini tentang adanya rumor tentang keberadaan pihak-pihak yang selalu setia mengawasi, mengamati, mencatat, mendokumentasikan dan merekam secara detil kegiatan setiap sosok yang bernama manusia. Mereka tahu jam berapa Anda berangkat dan pulang kerja, kuliah maupun sekolah, nama atasan,karyawan,orang tua, anak-anak,suami, istri,pacar,mantan pacar,selingkuhan. Mereka tahu dengan siapa Anda pergi makan siang, penyebab pertengkaran Anda dengan istri/ suami, alasan geng Anda mem-bully seorang rekan kantor, berapa jumlah uang Anda di bank dan berapa lama Anda menunggak cicilan sepeda motor.

Sebuah artikel berjudul ‘Governmental Social Media Surveillance Leaked WikiLeaks Stratfor Email’ menyebutkan bahwa not only the CIA OSC, and Stratfor are monitoring Facebook and Twitter or other social medias – also The NSA and for sure Germanys BND and other surveillance Agencys are up into the great spying machine called the internet. and the social media networks are their most powerful tools.’ Bukan hanya CIA OSC (Open Source Centre),namun juga NSA, BND dan sejumlah biro intelijen mancanegara lainnya yang melakukan pengawasan terhadap internet, dan jejaring media sosial adalah sumber informasi utama mereka. Atas nama upaya menjaga stabilitas dan keamanan Negara, mereka mengakui telah melakukan pengawasan melalui sarana CCTV yang terpasang di setiap obyek vital, penyadapan percakapan telepon kantor, umum,pribadi maupun intim, perekaman sidik jari secara massal dan sejumlah kegiatan ‘stalking’ lainnya. Pengawasan biasanya dilakukan terhadap sejumlah warga yang berpotensi menjadi ‘hama’ bagi stabilitas, seperti aktivis buruh, pekerja public yang ‘lurus’, aktivis mahasiswa, penggiat LSM, pemerhati isu lingkungan, dan sejumlah tukang protes lainnya.

Pelanggaran HAP ( Hak Asasi Privasi ) Berat?

Beberapa kalangan mengkritisi kebijakan ini sebagai pelanggaran terhadap privasi individu. Meskipun dalam kenyataannya jauh sebelum kebijakan ini diterapkan masyarakat malah melahap mentah-mentah berita dan gossip seputar kehidupan pribadi penyanyi, pemain film, olahragawan, bangsawan, politisi dan sejumlah figure terkenal lainnya. Dimana hal itu justru merupakan pelanggaran hak privasi yang lebih serius, karena disertai dengan tindakan menyebarluaskan kehidupan pribadi sang bintang secara massal demi mendapatkan pemasang iklan, ataupun keuntungan dari segi financial lainnya. Namun, dalam tulisan ini kita tidak akan membahas mengenai faktor K, yaitu kemungkinan adanya Kesengajaan dari pihak sang bintang dalam mengumbar sisi pribadi kehidupannya agar mendapatkan perhatian media.

Bukankah kita pun, sadar atau tidak sadar, seringkali menjual kehidupan pribadi kita kepada public melalui ungkapan kemarahan, kebencian, kebahagiaan, kegalauan, dan kalimat-kalimat lebay lainnya dalam status terbaru di jejaring sosial ? Kita telah dengan sengaja membuka diri agar mereka, para pemantau itu, mengetahui dengan mudah segala sisi gelap dan terang diri Anda. So what ? Kita kan juga tidak kenal mereka, kantornya dimana, atasannya siapa, manusiakah mereka, atau masih makan nasikah mereka. You know me, but do I know you? Nyata dan tidaknya mereka kita juga tidak akan pernah tahu. Yang kita tahu secara pasti, manusia menaruh perhatian dalam porsi besar terhadap keberadaan para pemantau, dibuktikan dengan laris manisnya sejumlah film yang terinspirasi kisah para intelijen seperti Munich, Enemy Of the State, Bourne Trilogy, Breach, Spy Game, dan yang barusan berjaya di Oscar, Argo.

Dapat kita simpulkan, bahwa surveillance secara merata yang telah diterapkan sebagian atau bahkan seluruh penguasa di dunia modern kepada warganya adalah sebuah tindakan atau keputusan yang boleh dan sah, meskipun Anda merasa risi jika membayangkan seseorang di luar sana mengetahui berapa kali dalam sehari Anda mengumpuli istri. Dapatkah kita melarang inisiatif sekelompok orang yang rela meronda semalam suntuk tanpa imbalan demi menjaga keamanan kampung? Salahkah mereka yang berniat melindungi warganya dengan jalan mengambil upaya pencegahan bahkan di saat suatu niat untuk berbuat criminal masih menjadi angan-angan dalam lamunan para pelakunya? Apakah Anda merasakan adanya gangguan terhadap privasi ataukah terhadap kemungkinan terbongkarnya rahasia kelam di masa lalu? Lha emangnya Anda itu siapa? Artis?

Standing Applaus

Suatu hari kami mendengar berita duka dari seorang rekan yang telah berpulang dengan diam-diam. Ia dikenal sebagai seorang seniman multi talenta yang mahir dalam berbagai bidang kesenian, diantaranya melukis dan memainkan alat musik. Ia mencintai keduanya seperti ia mencintai dirinya sendiri, dan ia tak kan bisa hidup baik-baik saja jika meninggalkan salah satu dari keduanya. Waktu berlalu dan tiba saatnya ia hidup berumah tangga. Dengan posisi sebagai kepala keluarga yang wajib memberikan nafkah, ia dihadapkan pada situasi pelik untuk memilih manakah diantara keduanya yang lebih bermanfaat secara ekonomis. Namun ia tak pernah berdaya untuk menjatuhkan pilihan. Keraguan itu mengikis kesadarannya sedikit demi sedikit, mengakibatkan dirinya jatuh pingsan tanpa pernah bangun lagi untuk selamanya. Sesaat menjelang koma, saya masih sempat mempertanyakan keputusannya untuk tidak memilih. ‘Well,’ jawabnya ‘ kau tahu kan banyak pelukis yang berkarya kemudian kaya raya, namun mereka tak akan pernah mendapatkan tepuk tangan ‘.

Itulah mengapa seniman cenderung tampil eksentrik, percaya diri untuk tampil membahana di tengah manusia yang hidup normal dalam kesehariannya. Mereka hadir dengan kepribadiannya yang saling tarik menarik, yang disadari atau tidak merupakan bagian dari upaya merebut perhatian orang kepadanya dan karya-karyanya.Mereka tampil dan memanfaatkan berbagai piranti, termasuk dirinya sendiri, sebagai media untuk mempresentasikan ekspresi maupun buah pemikirannya kepada khalayak. Kebebasan berekspresi ( freedom of expression ) sudah nyata-nyata diakui sejak puluhan tahun silam, sekaligus menegaskan hak setiap orang untuk mengungkapkan ekspresi meskipun ia bukanlah individu yang ditakdirkan tersesat menjadi seorang seniman. Kenyataannya, berbagai undang-undang trivia (UU santet, kumpul kerbau dan pornografi) yang dijejalkan ke ranah public baik local maupun internasional belakangan ini seperti hendak mengakui kekhawatiran penguasa terhadap kemungkinan lepas liarnya kebebasan berekspresi menjadi iblis anarkis. Penguasa seolah-olah menganggap kaum sipil adalah golongan kelas dua yang lugu, labil, naïf, kurang pandai, dan meng-underestimate-kan kemampuan serta keberanian warga Negara dalam mempertanggungjawabkan ekspresinya masing-masing.

Kita sudah lama mengakui bahwa dunia itu adalah memang panggung sandiwara. Di bawah gemerlapnya sorotan lampu kita memerankan lakon dari episode kehidupan pribadi masing-masing. Suatu saat kita memerankan tokoh protagonist, di lain hari kita memakai topeng antagonist. Akan tetapi, seorang pelakon drama membutuhkan kehadiran penonton untuk memberikan standing applaus, serta saweran berupa uang maupun sepatu. Maka, teruskanlah kau bernyanyi dan jangan lagumu terhenti. Mari kita berikan hiburan terbaik untuk ‘para pengagum (pemantau)’ rahasia. (swastantika)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline