Lihat ke Halaman Asli

Harga Kebebasan

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekitar era 80-an,TVRI memegang monopoli siaran televisi dan adalah era keemasan para biduan pada masa itu. Para penonton se-Indonesia tidak ada yang tidak mengenal, menikmati segenap talenta dan performanya di atas pentas. Mereka tidak punyakekhawatiran akan kalah bersaing dengan para biduan asing, karena akses khalayak kesana terbatasi. Di sisi lain, ketiadaan media alternatif menyuburkan keseragaman di segala bidang. Bukan saja ranah hiburan maupun lifestyle, informasi politik, ekonomi, sosial dan budaya pun seragam.

Aneh, setelah waktu berlari cepat bersama perkembangan teknologi dan komunikasi, kecenderungan itu belum juga berubah. Fashion dan musik adalah sekedar pengulangan dari era-era sebelumnya. Namun mengapa selera anak muda kita terhadap musik dan gaya hidup tetap saja seragam ? Mereka setuju tanpa syarat mengikuti saran media massa dan internet tentang apa yang sedang trending topic di hari ini.Seakan didera kekhawatiran yang amat sangat terhadap kemungkinan menyandang predikat ‘ kamseupay ‘ jika tidak cepat-cepat merespon perubahan trend dengan mengkonsumsi, menggemari dan, ujung-ujungnya, membeli salah satu produk hasil kebaruan tersebut.

‘ Perjuangan Melawan Lupa ‘

Ketertarikan dan keingintahuan kepada satu dan lain hal adalah berguna dalam upaya memperkokoh serta menajamkan pengetahuan dan ketrampilan survival sepanjang hayat. Tapi, tunggu dulu, adakah keingintahuan Anda muncul karena gemerlap dari luarnya sesuatu hal tersebut ? Apakah karena beroleh kesempatan dikelilingi gadis-gadis sehingga putra Anda tertarik mengikuti audisi boyband ? Apakah karena menjadi politisi itu sungguh bergelimang uang untuk melunasi hutang maka mereka berpaling dari idealisme vox populi? Ataukah karena raja-raja dalam film dan legenda itu terlalu pesolek, terlalu mendandani diri dengan perhiasan mutu manikam imitasi sekadarnya untuk menaikkan citra diri ?

Artifialisme ( artificial = buatan, seolah-olah, palsu ) semacam inilah yang kelak dimanfaatkan pihak lain untuk menggiring kita ke dalam sebuah sangkar. Semua sudah direncanakan, disiapkan dan diatur oleh panitia penyelenggara yang bertugas memutar paksa kepala kita kepada sebuah arah serta memasangkan sepasang kacamata kuda. Tujuannya hanya satu, yaitu agar kita hanya berkemampuan untuk memahami, mempercayai dan beropini tentang sesuatu hal sesuai sudut pandang para empunya kepentingan sahaja.

Memang tidak akan menyakiti siapapun secara fisik. Namun sanggup mengantarkan peradaban sekelompok manusia ke jurang kehancuran. Entah sampai kapan dicekoki, dininabobo lalu ditipu. Mungkin sampai seumur hidup dikarbitkan menjadi sosok yang berkarakter, berperilaku, berpola pikir, berbudaya sesuai keinginan mereka. Yaitu, untuk mudah dijinakkan, ditundukkan dan dikendalikan. Sehingga meminimalisir resiko sekecil-kecilnya terhadap potensi perlawanan atau anarki.

Kita toh tetap akan berjalan dengan dua kaki, makan dengan tangan kanan, cebok dengan tangan kiri. Di permukaan kita adalah manusia yang berhasil dipaksa untuk menjadi wajar dan biasa. Rutinitas ibarat lingkaran yang melilit akal dan nafsu, sehingga yang bersemayam di benak hanyalah makan dan cara mencari makan. Namun, peraturan yang artificial tak dapat dipungkiri juga melahirkan kepatuhan artificial, dan bukannya kesadaran terhadap alasan ‘ mengapa harus patuh itu sendiri ‘. Jadi kita pun wajib memaklumi seandainya suatu saat tiba-tiba muncullah pembangkangan massal, penyimpangan perilaku dan kepribadian, penolakan terhadap norma-norma, pelanggaran terhadap peraturan, hukum dan undang-undang, perselingkuhan oleh para pemberontak keharmonisan keluarga,dll.

Budaya modern adalah ibarat meneguk anggur merah. Bergalon-galon sudah habis kita tenggak, namun dahaga tak kunjung sirna. Mengikuti mainstream mungkin salah satu jalan teraman untuk menghabiskan sisa umur di dunia.Kita tidak perlu repot-repot mencari atau melarutkan diri ke dalam kegalauan abadi terhadap masa depan alam seisinya. Cukup menikmati, mengamini dan meniru apa yang sedang dan sering sekelebat berkilauan. Dan bersediakah selamanya dikutuk sebagai para penggelisah sampai mati ?

Lost And Found

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni “ ( Wikipedia ). Oleh karena Bumi terdiri dari lebih dari satu jenis iklim, cuaca dan kondisi geografis, maka itulah yang melatarbelakangi keberagaman budaya di antara manusia sebagai penghuninya.

Manusia yang tinggal di belahan Utara dan Selatan Bumi harus bertahan dan menyesuaikan diri di tiap-tiap pergantian empat musim ( salju, gugur, semi, panas ) selama satu tahun.Sedangkan sebagian lain yang berdiam di daerah khatulistiwa cukup menghadapi dua musim saja per tahunnya ( hujan dan kemarau ). Mereka beruntung sekali karena tantangan yang dihadapi saudara-saudaranya di belahan Utara dan Selatan jauh lebih berat.Namun, keberuntungan tersebut sekaligus merupakan kesialan. Akibat terbentuknya watak manja dan mahir potong kompas ( mencari jalan terpintas ) memaksa mereka untuk selalu dan sering kali tertinggal jauh di belakang langkah para saudara penghuni Bumi di Utara.

Adakah faktor yang sama jua menjadi penyebab kaum penghuni Negara tropis takluk di bawah hegemoni segala bidang ( dan terutama pula budaya ) bikinan kaum penghuni Negara subtropis ? Walahu-alam. Yang jelas, Universal Declaration of Human Rights menyatakan : Everyone has the right to freely participate in the cultural life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benefits. ( Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk berpartisipasi pada kehidupan berbudaya sebuah komunitas, untuk menikmati seni dan berbagi perkembangan ilmiah berikut segala manfaatnya ). Hak asasi memang adalah hak kita semenjak lahir ke dunia fana nan kejam ini. Siapakah yang memberi ? Ya, Hidup. Hiduplah yang pertama kali membebaskan kita untuk mengakui, memiliki, mengembangkan dan menjadi insan berbudaya, sebelum manusia menuliskannya dalam wujud Undang-undang.

Kebebasan itu sangat berharga. Anda yang punya uang pas-pasan tak perlu khawatir tak mampu membeli, karena tak sebuah mata uang pun di Bumi ini yang bisa menukarnya. Akan tetapi kebebasan jugalah senjata rahasia yang digunakan orang-orang berwatak culas, dan menghendaki materi sebesar-besarnya yang dikumpulkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, dalam rangka menjajakan barang dagangannya. Memanjakan diri dengan menempatkan imajinasi artifisial di dunia, pengetahuan dan gaya hidup yang bukan milik kita ? Boleh-boleh saja. Sekali lagi saya katakan, kebebasan itu sangat berharga. Bukan karena darah dan air mata yang tertumpah demi memperoleh pengakuan atasnya. Melainkan buah yang akan kita petik sesudahnya : adakah kebebasan itu menjadikan kita nyaman dengan budaya sendiri dalam menjalani hari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline