Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Pengganti Mama , Bisa Gak Yaa?

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kata apa yang pantas terungkap bila semua sudah lewat begitu saja, benar jika waktu tak akan ada yang mampu melawannya, benar jika waktu memang kadang seperti arus ombak yang menyeret nahkoda beserta kapalnya dengan ganas. Hanya sesal yang tersisa pada ahirnya, sedangkan waktu tak dapat diputar balik kembali.

Slide-slide itu mulai berputar lagi saat adikku mulai merengek manja minta di jemput ke pondoknya untuk pulang berobat plus plus. Plus plus di sini aku maksudkan adalah keinginan yang tak sekedar untuk berobat juga namun sekaligus jenuh dengan rutinitasnya di pesantren yang mungkin menurutnya ‘membosankan’. Ah anak pondok, begitulah biasanya mereka. Akupun dulu seperti dia kala Mama masih ada.

Terkadang orang yang kita cintai tak kan pernah merasakan cinta yang kita limpahkan sampai suatu saat nanti kita pergi dari hidupnya dan cinta itu terasa kehadirannya selama kita bersamanya, begitupun setelah semua usai, cinta itu terasa hilang bersama hilangnya sang pencinta.

10.00 AM @09 agustus 2005

Usia kehamilan mama sudah tua ketika aku masih duduk di bangku kelas satu Madrasah Tsanawiyah di Pondok Pesantren Al-Aziziyah. Aku anak sulung dari tiga bersaudara, adikku saat itu masih duduk di kelas enam Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak nol kecil. Bapakku ketika itu sedang bekerja melanjutkan tugas di Abudhabi Uni Emirat Arab.

Tak ada yang menyangka musibah besar ini akan terjadi pada kami, mama menghembuskan nafas terakhir kala persalinan pembukaan dua di Rumah Sakit Tentara Mataram.

Hanya aku mungkin yang masih mengingat jelas hari, tanggal, tahun dan beberapa detail yang adik-adikku akan sedikit bingung ditanyakan tentang kejadian itu oleh orang-orang karena mereka kebetulan tidak di RS saat kejadian. Adik bungsuku masih terlalu kecil untuk mengingat semua tentang duka tujuh tahun lalu itu. Sulungku bahkan tak mampu mengingat bagaimana wajah Almarhumah Mama dengan jelas jika kami menanyakan sekarang.

Benar kata dosenku, “pertumbuhan otak memang masih dapat dipacu, namun tidak untuk pertumbuhan emosi”.

Masa masa berikutnya untuk kehidupan kami begitu melelahkan dan menyedihkan, karena untuk berdiri bangkit kembali ternyata perlu usaha yang susah payah kami kerahkan. Bapakku terlihat begitu kewalahan, aku masih mengingatnya. Area visual otakku begitu jelas menggambarkan masa-masa sulit kami saat semua dimulai ari nol kembali.

Dan ini yang paling mengetuk hatiku untuk mengambil program studi psikologi, masalah emosi dan kepribadian adik-adikku masih berada di genggamanku. Aku belum puas rasanya memasrahkan mereka pada sekolah dan lembaga pendidikan yang mereka jalani saat ini.

Masalah emosi terutama, adik keduaku yang begitu susah di tebak maunya, susah di tebak dirinya siapa. Dia tumbuh dengan pribadi yang begitu tertutup, pemalu, sensitif, minder, keras kepala, begitu lelet dalam menyelesaikan apapun dan terkadang begitu arogan dengan emosi dalam keadaan tertentu yang mengganggunya. Beberapa masalah kerapkali dibuatnya, tanpa ada penyelesaian yang sempurna dalam setiap masalahnya, dia begitu loyal terhadap teman-temannya yang kadang bisa merugikan dirinya sendiri dan dalam beberapa kesempatan yang berulang, dia seingkali melupakan hal-hal penting sekalipun.

Suatu waktu pernah, dia memiliki masalah dan mungkin saja sulit untuk bercerita, hal yang dilakukan adalah menangis di kamar mandi.

Namun positifnya, terkadang dalam suatu kondisi, aku merasa malu di dahului dia dengan pemikiran bijaknya sekali waktu dia marah dan ingin meluruskan masalah.

Sebagai sulung, yang kata bapakku “Kamu wanita tunggal dan sulungku saat ini, sekaligus Pengganti Ibu untuk adik-adikmu !”, seringkali teguran aku berikan untuk memberinya saran perbaikan, namun seperti biasa, dia selalu saja lupa dan mengulangi kesalahan yang sama.

Dalam literatur buku RL. Solso menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan Gazzaniga, Bogen, Perry dan peneliti lainnya bahwa hemisfer kiri terasosiasi dengan fungsi-fungsi khusus seperti bahasa, konseptualisasi, analisis dan klasifikasi. Hemisfer kanan terasosiasi dengan pengintegrasian informasi sepanjang waktu, seperti dalam bidang seni atau musik, pemrosesan spasial, pengenalan wajah dan bentuk serta tugas-tugas khusus seperti mengenali arah jalam dalam suatu kota atau berpakaian....(Gazzaniga, 1983)

Jadi, dalam bahasan kita terdapat beberapa masalah yang mungkin ada pada salah satu belahan otak atau keduanya dalam hal ini.

Semoga bermanfaat...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline