Lihat ke Halaman Asli

Achdiar Redy Setiawan

Pembelajar pada Jurusan Akuntansi, FEB Universitas Trunojoyo Madura

Salin Tempel Cari Vs (Pem)budaya(an) Kejujuran

Diperbarui: 2 November 2020   07:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Baramma cong sakolah daring-nga? Bisa ngerja'agi tugas-tugas pangajaran sakolahna?" (Bagaimana sekolahnya selama daring? Bisa mengerjakan tugas-tugas sekolahnya?).

Demikian pertanyaan saya pada salah satu keponakan ketika lama tak bersua. "Gampang, Obha'. Tinggal salin, tempel, cari!" Keponakan menjawab dengan lugas dan ringkas.

Salin, tempel, cari. Awalnya saya mengernyitkan dahi untuk memahami arti deretan tiga kata sakti itu. Semenit kemudian, mengertilah saya. Itu terjemahan dari "copy, paste & search". Deggh.

Maknanya, pencarian jawaban pertanyaan tugas sekolah dilakukan secara instan melalui mesin pencari pintar seperti google, branly dan lainnya. Googling, demikian kaum milenial juga mengistilahkan pencarian jawaban soal apapun pada "mbah google".

Ketika tiba di rumah, putri kedua saya (kelas IV SD) menceritakan fenomena serupa di kelasnya. Ada banyak temannya yang mengaku melakukan tindakan serupa itu. Menggantungkan jawaban pada mesin pencari.

Ada pula yang pengerjaannya dibantu oleh orang tuanya langsung. Langsung membantu menuliskan jawaban, bukan lagi menemani proses pengerjaan. Tujuannya jelas: nilai pelajaran setinggi-tingginya.

Pada kesempatan berikutnya, giliran putri pertama (kelas VII SMP) menceritakan pengalamannya. Selain googling yang juga dianggap lumrah, ada kejadian lain yang membuat resah. Tatkala guru memberikan soal ujian dalam bentuk pilihan ganda google form, ada salah seorang kawannya melakukan tindakan curang.

Si anak menggunakan nama rekannya untuk tahu terlebih dahulu jawaban soalnya. Setelahnya, masuklah ia dengan identitas aslinya dan meraih nilai tinggi karena jawaban benarnya telah dikantongi. Ketika ditelusuri, si anak yang diduga menjadi pelaku merasa itu bukan perbuatan yang salah. Biasa saja. Lumrah saja. Begitu katanya.

Seketika kepala saya terasa berat. Beberapa fenomena nir-kejujuran namun dianggap lazim tersebut merupakan gejala yang tak dapat diterima dalam otak saya yang dangkal ini.

Sedemikian parahkah wajah pendidikan dasar dan menengah kita tentang pembudayaan kejujuran dan penghargaan terhadap proses? Teknologi informasi yang canggih di masa kiwari menemukan bentuk-bentuk penyalahgunaan di tangan pribadi yang menganggap biasa perilaku ketidakjujuran.

Proses pembelajaran daring akibat pandemi ini telah berlangsung lebih dari enam bulan. Peserta didik dituntut mandiri belajar dari rumah. Guru tidak hadir secara fisikal dalam proses belajar-mengajar (PBM). Media daring menjadi satu-satunya pilihan PBM selama bahaya Covid19 masih menghantui.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline