Lihat ke Halaman Asli

Polemik Utang Luar Negeri Indonesia

Diperbarui: 28 Juni 2015   04:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Masih membekas ingatan beberapa minggu yang lalu tentang polemik utang Indonesia, berbagai media publik sempat ramai memperbincangkan pernyataan Presiden Jokowi. Hal yang menimbulkan polemik di masyarakat luas yaitu adanya tanggapan dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas koreksi pernyataan Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan. Setelah dikonfirmasi kepada pihak istana, Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto mengatakan bahwa posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia terkait International Monetary Fund (IMF) sudah selesai pada 2006. Namun, pada 2009 muncul lagi utang sebesar 2,9 miliar dolar AS dan masih bertahan sampai saat ini. Hal tersebut diungkapkan dengan merujuk pada data statistik ULN Bank Indonesia yang menyatakan bahwa dana sebesar itu merupakan kuota penyertaan modal Indonesia dalam bentuk mata uang khusus IMF, biasa disebut Special Drawing Rights (SDR). Jadi, alokasi tersebut, sejatinya bukanlah utang tetapi iuran wajib Indonesia sebagai anggota IMF. Hingga saat ini posisi terakhir ULN Indonesia sampai November 2014 masih menyisakan 2,9 miliar dolar AS.

Utang Luar Negeri, Modal atau Perangkap?

Indonesia sebagai anggota IMF memang diberikan alokasi dana yang disebut stanby loan. Dana itu dapat dipakai jika negara-negara anggota memerlukannya, jadi Indonesia memang berhak untuk meminjam dana tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan dalam persoalan ini yaitu “perlukah Indonesia berhutang?”. Memang benar jika utang luar negeri dapat dijadikan suatu hal yang positif karena dapat menambah cadangan devisa dan mengisi kekurangan modal pembangunan ekonomi suatu negara. Namun perlu dicermati juga dampak positif ini akan diperoleh selama utang luar negeri dikelola dengan baik dan benar, bukannya “kebablasan”. Alih-alih digunakan untuk sektor-sektor yang produktif, penggunaan utang luar negeri yang tidak tepat sasaran dikhawatirkan menyebabkan permasalahan yang serius di kemudian hari.

Yunani merupakan salah satu contoh negara yang pada masa silam pernah mengalami keterpurukan krisis utang luar negeri. Tepatnya pada tahun 1974 yang lalu, saat itu Yunani sedang mengalami guncangan krisis finansial yang cukup hebat. Kekuasaan militer di Yunani digantikan oleh pemerintahan baru yang berhaluan sosialis. Sebagai pemerintah yang beraliran sosialis, pemerintah baru memberikan jaminan sosial yang sangat baik bagi rakyat Yunani. Subsidi, jaminan sosial, pensiun, gaji pegawai negeri sipil yang memadai dan berbagai bentuk jaminan sosial lainnya diberikan pemerintah Yunani bagi rakyatnya. Untuk membiayai semua pengeluaran tersebut, anggaran Yunani defisit terus menerus dalam jumlah yang besar dan dalam jangka waktu yang panjang. Ketika defisit terus menerus utang menjadi pilihan.

Masuknya dana pinjaman tanpa usaha dan kerja keras telah melenakan negara debitur. Akibatnya, utang telah berubah menjadi perangkap utang (debt trap) bagi negara tersebut. Kucuran dana berlimpah dari pinjaman juga mendorong terbentuknya birokrasi yang sarat dengan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) dan penyelewengan. Alih-alih melakukan penghematan dan menekan defisit, Yunani justru menumpuk utang baru dan akhirnya bencana finansial menggulung mereka.

ULN Indonesia Terus Meningkat

Bagaimana dengan Indonesia? Mungkin masih mengendap dalam ingatan tentang “tsunami krisis moneter” pada tahun 1997-1998 yang menghancurkan bangunan ekonomi Indonesia laksana badai merontokkan rumah-rumah di tepi pantai. Perekonomian berbasis industri Indonesia yang siap take off jatuh ke landasan, terseret ke belakang hingga “kembali ke hangar”. Negeri ini pun kembali menjadi penghuni perekonomian berbasis sumber daya alam yang sebagian besar ekspornya kembali ke komoditas bahan mentah pertanian, mineral dan energi. Pengalaman pahit tersebut salah satunya didorong oleh ketidakmapuan mengelola utang dengan baik, dan masih banyak faktor-faktor lain yang memperparah krisis ekonomi saat itu.

Menurut data “Statistik Utang Luar Negeri Indonesia” yang dilansir dari Bank Indonesia, posisi utang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 total pinjaman sebesar USD 202.413, pada tahun 2011 bertambah menjadi USD 225.375. Tahun 2012 pinjaman meningkat signifikan menjadi USD 252.364, kemudian bertambah kembali menjadi USD 266.015 pada tahun 2013. Pinjaman pada akhir 2014 sebesar USD 292.983, hingga bulan Februari 2015 total pinjaman menjadi USD 298.888, sebuah nominal yang cukup mencengangkan untuk nominal pinjaman suatu negara.

Dengan adanya kewajiban atas pinjaman luar negeri pemerintah, hal ini telah memberikan tekanan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sangat besar sehingga mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan fiscal stimulus bagi pertumbuhan ekonomi. Akibat beban untuk memenuhi kewajiban pinjaman yang begitu besar, maka membuat permasalahan telah bergeser dari fiscal stimulus menjadi fiscal sustainability. Artinya, yang perlu dipikirkan dan dilakukan adalah langkah-langkah strategis di berbagai bidang untuk menjamin agar Indonesia terhindar dari krisis fiskal yang dapat berdampak sangat destruktif terhadap pertumbuhan ekonomi kita di masa yang akan datang.

Komitmen Menghentikan Ketergantungan ULN

Fenomena pinjaman luar negeri pemerintah hendaknya mendapat perhatian dan penanganan yang serius karena hal ini sangat terkait dengan pengelolaan keuangan negara baik di sisi penerimaan, ketika memperoleh pinjaman baru, maupun di sisi pengeluaran, saat harus membayar pinjaman yang jatuh telah tempo. Permasalahan yang juga perlu ditekankan dalam hal ini adalah pinjaman luar negeri yang senantiasa dijadikan solusi pembiayaan terhadap struktur APBN yang dari tahun ke tahun selalu menunjukkan posisi yang dilematis. Apabila kinerja ekspor maupun penerimanan pajak Indonesia tidak mengalami gangguan dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, maka tekanan APBN dapat terselamatkan. Namun dengan adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi global saat ini dan nilai mata uang rupiah yang masih memungkinkan adanya pelemahan, serta belum adanya pertanda membaiknya perekonomian global, maka dikhawatirkan APBN Indonesia masih mengalami tekanan karena harus memenuhi kewajiban membayar kembali jumlah pokok dan bunga pinjaman yang telah dan akan jatuh tempo di masa yang akan datang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline