Lihat ke Halaman Asli

Aksi Penolakan MEA di Hari Buruh

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Globalisasi ekonomi merupakan suatu hal yang tak dapat disangkal bagi seluruh negara di dunia. Setiap negara dan elemen-elemen yang terkandung di dalamnya harus dapat menerima dan menghadapi globalisasi, terlepas suka tidak suka maupun ingin atau tak ingin. Hal inilah yang menjadi kecemasan sebagian besar kalangan buruh di tanah air tercinta ini, pasalnya di penghujung tahun 2015 Indonesia telah resmi memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). MEA hadir dengan tema pasar tunggal dan basis produksi ASEAN, yang hendak menjadikan Indonesia sebagai basis pasar dan basis produksi dengan andalan melimpahnya jumlah populasi, tenaga kerja produktif nan murah, serta sumber-sumber kekayaan alam. Pembentukan MEA mendorong pembukaan pasar bebas yang menghilangkan batas-batas antar negara melalui penghapusan tarif bea masuk dan menghapus pembatasan investasi asing hingga 100% di seluruh sektor ekonomi. Alasan yang paling mendasar dalam pembentukan MEA 2015 adalah karena ASEAN merupakan kawasan pasar potensial di dunia. Faktor inilah yang dipercaya akan mendorong pertumbuhan ekonomi ditengah melandanya krisis ekonomi global.

Penolakan MEA

Seolah menyikapi pemberitaan MEA yang saat ini ramai diperbincangkan media massa, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dengan tegas menyatakan menolak pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Setali tiga uang, Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) juga mendesak pemerintah untuk segera membatalkan pelaksanaan MEA dengan alasan perlindungan kaum buruh perempuan. Selama ini buruh perempuan paling sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, baik upah, hak cuti melahirkan, hingga perlakuan intimidasi dari perusahaan. Mayoritas buruh perempuan Indonesia berpendidikan rendah, sudah pasti akan kalah bersaing jika MEA terealisasi. Selain itu, tenaga kerja Indonesia harus dituntut memiliki produktivitas yang tinggi, sementara realitanya pendidikan dan kualitas tenaga kerja Indonesia masih sangat jauh tertinggal dibanding Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand.

Kekhawatiran akan dampak negatif MEA khususnya bagi negara berkembang, ketidakadilan terhadap pasar tenaga kerja dalam kaitannya dengan pekerjaan, upah dan standar pekerja, menjadi dasar bagi federasi serikat buruh untuk menolak dengan tegas realisasi MEA di Indonesia. Reaksi penolakan terhadap MEA inilah yang dijadikan titik awal konsolidasi gerakan buruh bersama massa rakyat tertindas dalam menyusun kekuatan perjuangan kelas buruh di kawasan ASEAN.

Kericuhan Hari Buruh

Peringatan hari buruh yang jatuh pada hari ini, mungkin terasa berbeda atau cenderung lebih spesial bagi pengamat politik, karena hari buruh ini adalah hari buruh pertama sejak kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Mayoritas rakyat dan buruh sepertinya akan benar-benar memanfaatkan moment ini untuk menyuarakan penolakannya terhadap MEA. “May Day”, harinya kaum proletar menuntut kesejahteraan mereka atas nama Hak. Semua manusia di dunia punya hak asasi manusia yang sama atas dirinya, termasuk kesejahteraan para rakyat serikat buruh.

Layaknya festival tahunan yang patut dirayakan setiap tahunnya, rutinitas kemacetan pada hari itu akan semakin menyemut sesak baik oleh para pengguna jalan, maupun para pendemo yang turut memeriahkan ajang tahunan ini. Aksi blokade dalam suasana panas sebagai tanda protes masih terjadi di kampus-kampus, lumpuhnya jalanan protokol di berbagai kota-kota besar, hingga aksi anarkis tak bertanggung jawab seakan menjadi pelengkap hidangan di hari buruh nasional. Sekitar satu juta buruh diperkirakan akan melakukan aksi turun ke jalan. Aksi ini akan berlangsung serentak seluruh tanah air Indonesia.

Berani Menyongsong Perubahan

Potret terpuruknya sektor korporasi tidak serta merta membiarkan buruh menjadi korban buruknya konstelasi dunia usaha itu. Sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk sekian ratus juta, Indonesia mampu menggiurkan investor asing dengan penawaran faktor produksi tenaga kerja dengan harga murah. Namun, tidak berarti pula pemerintah mengabaikan faktor kesejahteraan buruh.

Presiden Joko Widodo telah menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menjadi pasar semata, tetapi juga harus menjadi bagian penting dari rantai produksi regional dan global. Selain itu, pemerintah juga tetap berkomitmen untuk memajukan kerja sama ASEAN termasuk dalam mewujudkan MEA 2015. Saat ini Indonesia diharapkan bersikap terbuka untuk bisnis. Namun, harus memastikan pula kepentingan nasionalnya tidak dirugikan apalagi dimanfaatkan pihak asing. Kita juga sama-sama mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara berkembang yang menganut sistem perekonomian terbuka dimana lalu lintas perekonomian internasional sangat penting dalam perekonomian dan pembangunan nasional. Masalahnya sekarang, mengapa rakyat Indonesia cenderung pesimis dalam menghadapi MEA? Bukankah melalui MEA kita dapat memaksimalkan pasar produk dalam negeri agar mampu bersaing di pasar internasional?

Oleh karena itu, seluruh elemen bangsa Indonesia harus dapat bekerja sama mengatasi tiga hal utama. Pertama, mempercepat pembangunan infrastruktur dan konektivitas di negara-negara ASEAN melalui percepatan implementasi Masterplan on ASEAN connecitivity. Kedua meningkatkan kerja sama investasi, industri dan manufaktur lebih erat di antara negara-negara ASEAN. Ketiga, meningkatkan perdagangan intra ASEAN yang saat ini masih cukup rendah yakni 24,2 persen. Dalam lima tahun ke depan, Pemerintah menargetkan intra-ASEAN setidaknya bisa mencapai 35 persen-40 persen.

Tidak ada yang salah dari penjelasan ini, apalagi jika disertai model ekonomi yang kadang rumit. Masalahnya, model ekonomi dan dunia nyata bisa merupakan dua hal berbeda. Jika fisikawan atau ahli kimia bermain-main dengan formula di laboratorium tanpa mengganggu orang lain, ekonom harus mempertaruhkan nasib orang banyak dalam menerapkan model ekonominya. MEA adalah wadah bagi Indonesia membangun kerja sama yang bermanfaat bagi rakyat, bagi pembangun negara, dan perdamaian serta stabilitas di kawasan ASEAN. Peluang ini harus maksimalkan sebaik mungkin, optimis dalam perubahan yang lebih baik. Memang tak mudah menerjemahkan wacana teoritis dalam dunia praktis (kebijakan). Tetapi, di situlah tantangan dan seninya. Menjalankan kebijakan perlu kerangka teori memadai, selain visi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline